Ticker

6/recent/ticker-posts

Tradisi Mandi Balimau Di Kecamatan Kuranji, Balimbiang, Kota Padang



Oleh : Ryci 

jurusan sastra daerah minangkabau unand



Tradisi adalah kesamaan benda material dan gagasan yang berasal dari masa lalu namun masih ada hingga kini dan belum dihancurkan atau dirusak. Tradisi dapat di artikan sebagai warisan yang benar atau warisan masa lalu. Namun demikian tradisi yang terjadi berulang-ulang bukanlah dilakukan secara kebetulan atau disengaja. Dari pemaham tersebut maka apa pun yang dilakukan oleh manusia secara turun temurun dari setiap aspek kehidupannya yang merupakan upaya untuk meringankan hidup manusia dapat dikatakan sebagai “Tradisi” yang berarti bahwa hal tersebut adalah menjadi bagian dari kebudayaan. Perubahan tradisi dari segi kuantitatifnya terlihat dalam jumlah penganut atau pendukungnya. Rakyat dapat ditarik untuk mengikuti tradisi tertentu yang kemudian memengaruhi seluruh rakyat satu negara atau bahkan dapat mencapai skala global. Perubahan tradisi dari segi kualitatifnya yaitu perubahan kadar tradisi.

Di masyarakat Minang, khususnya di Padang yaitu tradisi Balimau ini ialah suatu tradisi yang dijalankan oleh masyarakat Minang dalam menyambut bulan suci Ramadhan atau bulan puasa. Tradisi Balimau di masyarakat Minangkabau ini sebenarnya hampir mirip dan memiliki makna yang sama dengan tradisi masyarakat Batak yaitu Marpangir dan juga tradisi masyarakat Jawa yaitu Padusan yang memiliki arti mensucikan diri sebelum menjalankan ibadah puasa. Balimau adalah tradisi mandi menggunakan jeruk nipis yang berkembang di kalangan masyarakat Minangkabau dan biasanya dilakukan pada kawasan tertentu yang memiliki aliran sungai dan tempat pemandian. Diwariskan secara turun temurun, tradisi ini dipercaya telah berlangsung selama berabad-abad.

Latar belakang dari balimau adalah membersihkan diri secara lahir dan batin sebelum memasuki bulan Ramadan, sesuai dengan ajaran agama Islam, yaitu menyucikan diri sebelum menjalankan ibadah puasa. Secara lahir, menyucikan diri adalah mandi yang bersih. Zaman dahulu tidak setiap orang bisa mandi dengan bersih, baik karena tidak ada sabun, wilayah yang kekurangan air, atau bahkan karena sibuk bekerja maupun sebab yang lain. Saat itu pengganti sabun di beberapa wilayah di Minangkabau adalah limau (jeruk nipis), karena sifatnya yang melarutkan minyak atau keringat di badan. Tradisi balimau dipercaya sudah ada sejak abad ke-19 pada masa penjajahan Belanda. Awalnya, tradisi balimau merupakan sebuah ritual di mana pada hari terakhir bulan Sya'ban seseorang diharuskan mandi keramas dengan limau, kasai (bunga rampai), dan beberapa jenis bunga lainnya. Balimau juga sering disebut dengan bakasai (mandi dengan bunga rampai). Setelah balimau atau bakasai tersebut, barulah seseorang berniat untuk berpuasa Ramadhan esok harinya. Masyarakat Minangkabau pada zaman dahulu, menjadikan mandi balimau sebagai wujud untuk membersihkan diri dan jiwa sebelum memasuki bulan suci Ramadan. Selain itu untuk kenyamanan batin. Namun seiring berjalannya waktu, tradisi ini mulai bergeser. Balimau kini lebih dimaknai dengan bertamasya ke tempat-tempat pemandian.

"Balimau" biasanya dilakukan di tempat pemandian umum. Karena zaman dahulu, memang warga Minang melakukan aktivitas di tempat pemandian seperti disungai (batang aie), danau atau pincuran. Zaman dahulu tak ada kamar mandi di rumah. Seiring berjalannya waktu, tradisi ini berjalan dinamis mengikuti perkembangan zaman. Mulai muncul perbedaan pendapat apakah kebersihan lahiriyah berdampak pada kebersihan ruhani. Namun secara umum, esensi "Balimau" sebagai datang untuk mempersiapkan diri dengan kebersihan ruhani pun bergeser.

Dahulunya, tradisi "Balimau" ini dianggap baik. Masyarakat Minangkabau yang dulu menjalani keseharian sebagai masyarakat pertanian, amat jarang bertemu dengan orang datangv dan kerabat. Mereka sibuk bertani ke datang atau ke sawah. Setiap hari, tiada henti aktivitas tersebut dijalani. Kesibukan ini membuat masyarakat Minang pada masa dahulu

tidak mempunyai waktu untuk bertemu secara rutin. Akibatnya, ketika bulan ramadhan datang, mereka pun menyepakati, baik langsung maupun tidak langsung, untuk berangkat ke tepian dan menjalani tradisi "Balimau". 

Dalam "Balimau" misalnya, masyarakat Minang menjalaninya dengan bermandi di tepian mandi, lalu menyirami tubuh dengan air khusus yang dicampurkan dengan bunga-bunga atau rempah-rempah yang dibuat dengan cakua, kambelu, dan lainnya. Bagi masyarakat dahulu, air campuran khusus tersebut digunakan untuk membersihkan diri secara lahiriah. Berharap agar segala penyakit jauh dari tubuh mereka, sehingga ketika menjalani ibadah puasa, mereka dapat menjalani dengan khusyuk. 

Dibalik tradisi ini, sesungguhnya ada sesuatu yang tengah dikembangkan oleh masyarakat Minang. Tradisi berkumpul. Ketika mereka sibuk dengan berbagai kegiatan di sawah, datang, dan pasar raya, masyarakat pun membutuhkan waktu untuk bertemu dengan kerabat dan orang datangv. Oleh karena pada masa itu belum ada handphone dan telpon, mereka pun yang dulunya memiliki jarak antar rumah yang sangat jauh, menyepakati untuk "Balimau" ke tapian mandi. Dengan kesepakatan ini, akhirnya membuat mereka bisa bertemu di satu tempat. Pada kesempatan itulah, mereka mengamalkan ajaran agama Islam untuk meminta maaf dan saling memaafkan. Sebenarnya "Balimau" hanya kebiasaan yang diciptakan dan di tradisikan oleh sebagian masyarakat Minang. Secara hakikat, "Balimau" dilakukan untuk menyucikan diri dari segala perbuatan buruk, membersihkan diri dari penyakit hati, seperti sakit hati, iri, dengki, riba, tamak, dan lainnya yang pada hakikatnya bertujuan untuk menjaga hati agar lebih siap menghadapi bulan suci ramadhan.

Tujuan "Balimau" untuk menyucikan diri sebelum memasuki bulan Ramadhan, wujud penyucian diri ini dengan mandi di sungai dan danau, keramas dengan jeruk dan bunga rampai yang wangi. Setelah "Balimau" kemudian bermaaf- maafan karena akan memasuki bulan Ramadhan, malamnya shalat tarawih dan besoknya berpuasa. Selain itu ada juga ritual "Balimau" yang dilakukan secara personal di kamar mandi pribadi dengan cara membubuhkan rempah dan wewangian ke wadah berisi air dan kemudian berkeramas dengan ramuan wangi tersebut. Niatnya tetap sama, yaitu mensucikan diri sembari berniat memasuki bulan Ramadhan. Meski akar tradisi ini masih samar, tetapi praktek ini juga lazim dilakukan oleh orang baru saja terkena guna-guna, pengantin baru dan tujuan-tujuan non agama lainnya.

Post a Comment

0 Comments


SELAMAT DATANG DI SEMOGA ANDA PUAS