Ticker

6/recent/ticker-posts

Mengenal Sastra Lisan Nagari Talawi



Oleh : Saskia Putri Nabilla

Pekerjaan : Mahasiswa Sastra Minangkabau, Universitas Andalas


 

Budaya Minangkabau merupakan suatu aspek keragaman yang menyangkut tentang adat istiadat masyarakat Minangkabau. Berbicara tentang budaya, maka juga akan menyinggung salah satu aspek dari budaya yaitu sastra. Dalam kategorinya, sastra juga terdapat dalam beberapa bentuk, diantaranya sastra lisan. Adapun mengenai sastra lisan, maka tidak akan jauh dari konteks pembicaraan-pembicaraan yang sudah turun temurun dan bahkan sangat rentan untuk berkurang ataupun bertambah dari cerita tersebut. Sastra Lisan yang diketahui berupa legenda, mitos ataupun mantra, sangat kental terdapat dalam etnik masyarakat yang masih tradisional. Maka tidak heran, suatu kebudayaan juga akan berdampak terhadap masyarakat yang masih menjunjung tinggi adat istiadat mereka.


Sastra lisan di Minangkabau contohnya, masih dipakai dalam sekelompok masyarakat yang belum terlalu terdampak oleh perkembangan zaman modern saat ini. Dalam hal ini, penulis menemukan satu bentuk sastra lisan di nagari Talawi, Kota Sawahlunto. Apa saja sastra lisan tersebut? Berikut penjelasannya :


Legenda Batu Kudo


“Dahulu kala, ada sebuah daerah di Talawi yang diberi nama Seberang. Masyarakat setempat menyebutnya Saboghang. Di sebalik bukit disana, terdapat sungai yang di dalamnya ada sebuah batu yang berbentuk seperti kuda. Orang-orang yang ingin melihatnya mesti harus menyelam untuk dapat melihat wujud batu tersebut. Setelah melihatnya dan benar didapati batu itu seperti kuda, barulah orang-orang memberi nama dengan batu kudo atau batu berbentuk seperti kuda. Masyarakat yang tinggal kala itu, mempercayai bahwa batu itu tidak hanya berbentuk unik saja, tetapi juga dijadikan kepercayaan lainnya. Masyarakat dahulunya juga mempercayai bahwa batu itu akan bergetar sebagai penanda bahwa daerah tersebut akan dilanda oleh bencana. Pernah suatu masa, batu itu bergetar hingga masyarakat yang tinggal di sekitarnya merasa waspada akan bencana yang akan mereka hadapi. Dan tidak lama setelah itu, muncullah banjir bandang yang besar hingga menghancurkan daerah tersebut. Sejak itu, akhirnya masyarakat setempat percaya bahwa batu itulah yang akan memberi tahu mereka jika suatu bencana akan datang melanda.” 


Dari legenda di atas, dapat kita simpulkan bahwa Legenda Batu Kudo merupakan salah satu bentuk sastra lisan yang dipercaya masyarakat setempat memiliki kekuatan tersendiri sebagai peringatan jika terjadi hal-hal terhadap nagari mereka. Legenda tersebut, saat ini mulai tidak diceritakan kepada generasi berikutnya, sehingga banyak anak muda yang sudah tidak mengenal lagi cerita ini. Untuk itu, sebagai penulis, saya ingin mengajak kembali generasi muda agar mengenal sastra lisan yang ada di daerah setempat. Hal itu bertujuan agar cerita-cerita tersebut masih tersimpan sebagai kekayaan budaya kita dan juga tetap terjaga dan lestari hingga ke generasi berikutnya.


Selain sastra lisan tentang Legenda Batu Kudo tersebut, juga terdapat bentuk sastra lisan lainnya seperti cerita “Rumah Tusuk Sate”. Bagaimana ceritanya? Mari kita simak bersama.


Rumah Tusuk Sate


“Dahulu kala, di daerah yang bernama Sago, rumah-rumah yang dibangun di dekat sungai tidak dibolehkan untuk membuat pagar rumah yang lurus dengan jalan diseberangnya, apalagi jalan di seberangnya itu mengarah pada sungai atau orang setempat menyebutnya dengan batang aie. Sehingga, orang-orang dahulu yang bertempat tinggal di pinggiran sungai selalu membuat gerbang rumah yang tidak sejajar dengan jalan di seberangnya yang mengarah ke sungai tersebut. Masyarakat disana dahulunya mempercayai bahwa rumah yang memiliki gerbang yang sejajar dengan jalan di seberangnya itu sebagai penghambat jalan bagi makhluk gaib nantinya. Pernah ada suatu kejadian dimana sebuah rumah dibangun dengan gerbang atau pagar yang sejajar dengan sungai tersebut. Alhasil, hampir setiap maghrib di rumah itu selalu ada yang kesurupan karena dimasuki oleh makhluk gaib. Selain aturan tersebut, orang-orang yang tinggal disana juga dianjurkan untuk melakukan ritual sebelum membangun pagar rumah agar terhindar dari makhluk gaib yang hendak berjalan ke arah rumah mereka.”


Selain legenda-legenda di atas, terdapat juga sastra lisan lainnya seperti mitos-mitos yang beredar juga di masyarakat setempat, seperti berikut ini :


“Induak hamil jan malilik an kain di lihia

Beko talilik anak dek tali pusek e”


(Ibu hamil jangan melilitkan kain di leher

Nanti anak terlilit oleh tali pusarnya)


Mitos di atas, begitu dipercayai masyarakat setempat, terlebih narasumber dalam hal ini menambahkan faktor penyebab timbulnya mitos tersebut ialah dikarenakan adanya kejadian-kejadian yang pernah terjadi sehingga apabila seseorang melanggarnya, maka hal yang tidak berkenan akan menimpa. Maka dari itu, anggapan tersebut, hendaklah dipatuhi masyarakat agar tidak mendapat akibat timbal balik dari mitos tersebut. Dalam hal ini, penulis mengklasifikasikan bahwa kepercayaan ini termasuk ke dalam bentuk tahayul atau kepercayaan yang merupakan khayalan belaka saja. Hal itu dikarenakan tidak adanya hubungan logis antara kain yang dililitkan ke leher dengan tali pusar bayi. Namun menurut penulis, ungkapan kepercayaan tersebut benar harus dihindari oleh ibu hamil, sebab melilitkan kain ke leher bisa saja membuat pasokan oksigen berkurang yang akan berakibat fatal bagi anak yang dikandungnya.


Nah, dari beberapa bentuk sastra lisan di atas, dapat kita lihat bahwa begitu banyak sastra lisan yang berkembang di tengah masyarakat terutama di Minangkabau. Adapun corak budaya yang berkembang, sangat mempengaruhi pola pikir serta adat kebiasaan masyarakatnya. Kehadiran legenda, mitos dan lain sebagainya itu, sangat mempengaruhi berbagai aspek budaya sehingga menimbulkan keragaman-keragaman di dalamnya. Sebagai generasi penerus bangsa, adanya cerita yang berkembang di masyarakat, bukan dijadikan pedoman apabila hal tersebut tidak teruji kebenarannya. Namun, jika hal tersebut sudah menjalar dalam budaya suatu bangsa, maka kita mempunyai kewajiban untuk tetap menjaga dan melestarikannya sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan kita saat ini. Akan tetapi, meskipun suatu aspek budaya tidak lagi berfungsi atau tidak sesuai dengan perkembangan zaman, maka keragaman budaya tersebut dapat kita simpan dan jadikan pembelajaran serta perbandingan agar kedepannya generasi bangsa tetap berjalan baik dengan semestinya.

Post a Comment

0 Comments


SELAMAT DATANG DI SEMOGA ANDA PUAS