Tim SAR (search and rescue) merupakan suatu regu penyelamat yang akan langsung turun tangan ketika terjadi bencana. Tim SAR membantu menyelamatkan korban baik yang masih bernyawa ataupun tidak yang diakibatkan dari terjadinya bencana. Para anggota tim SAR yang juga seorang manusia, dan bertugas menyelamatkan para korban yang terkena bencana juga dapat mengalami gejala yang sama dengan para korban yang menjadi korban terdampak bencana. Hal yang dapat menjadi peristiwa traumatis bagi para korban yang terkena bencana adalah ketika suatu bencana terjadi, kemudian juga ketika kehilangan orang terdekat saat terjadinya bencana. Sedangkan yang dapat menjadi peristiwa traumatis bagi para tim rescue ialah ketika mereka menyelamatkan orang yang menjadi korban bencana, atau ketika orang yang diselamatkan tersebut merupakan keluarga dekat mereka atau ketika mereka sedang menyelamatkan seseorang terjadi bencana susulan. Selama ini yang paling menonjol mengenai dampak psikologis yang dialami oleh tim SAR atau tim rescue yaitu PTSD. Namun, jarang yang menyadari bahwa terdapat dampak psikologis lainnya yang memiliki gejala yang sama dengan PTSD, yaitu STSD (secondary traumatic stress disorder), yang mana STSD sangat rentan terjadi pada mereka yang menolong ataupun membantu kegiatan evakuasi para korban yang mengalami trauma pasca terjadinya bencana.
Figley (dalam Mordeno, 2017) menggambarkan STS sebagai kondisi yang melemahkan yang ditandai dengan perubahan perilaku atau emosi yang terkait dalam tindakan membantu atau ingin membantu orang lain yang memiliki mengalami peristiwa traumatis. STS terjadi sebagai reaksi terhadap paparan sekunder atau paparan tidak langsung terhadap suatu peristiwa traumatis yang dialami oleh orang lain (Hensel, 2015). STSD muncul dikarenakan adanya perasaan stress yang muncul diakibatkan dari stressor yang didapatkan ketika sedang terjun langsung menangani korban yang mengalami trauma pasca terjadinya bencana. Ketika suatu stressor datang namun tidak dapat dikelola dengan baik atau tidak mendapatkan respon yang baik maka stressor tersebut akan menimbulkan kecemasan pada individu yang bersangkutan. Setelah munculnya kecemasan dan juga tidak ditangani dengan tepat atau tidak melakukan strategi coping yang tepat maka akan menjadi suatu hal yang dapat mengganggu kegiatan sehari-hari individu dan kemudian akan menimbulkan STSD. Bride et.al (2004, dalam Hensel 2015) mengatakan bahwa paparan yang terjadi berulang kali yang dialami oleh tim rescue atau regu penyelamat dan memiliki gejala yang ditandai dengan citra intrusive yang terkait dengan trauma yang dimiliki, penghindaran, emosi yang tertekan, dukungan sosial yang diberikan dan gangguan fungsional. Gejala-gejala ini dapat berdampak pada kehidupan sehari-hari individu, baik dari segi kehidupan keseharian ataupun pada pekerjaan sebagai tim SAR atau tim rescue.
Dalam Rahayu dkk (2021) mengatakan bahwa kejadian STSD yang dapat dialami oleh tim SAR atau tim rescue memiliki tiga gajala utama yaitu intrusion, avoidance, dan juga arousal. Gejala intrusion merupakan gejala yang disebabkan oleh kegagalan tim rescue untuk dapat bersikap empati dan cenderung bersikap simpati. Hal ini dikarenakan ketika tim rescue atau tim SAR menolong korban dari kejadian bencana, terkadang para tim rescue merasakan simpati yang berlebihan akan kejadian yang telah menimpa korban tersebut, bersikap iba, kasihan dan turut merasakan kesedihan yang dialami oleh korban. Gejala dari intrusion yang dirasakan ialah ikut merasakan trauma yang telah dialami oleh korban bencana. Pemicu atau stimulus juga sangat mempengaruhi atau berkaitan erat dengan kejadian yang telah dialami (peristiwa traumatik). Seseorang yang mengalami gangguan STSD biasanya abnormal pada penyimpanan, pelepasan, serta eliminasi katekolamin yang mempengaruhi otak pada bagian amigdala yang membuat kejadian itu disimpan di memori otak dan disalurkan dalam bentuk mimpi buruk (Yosep & Sutini, 2016). Karena hal itulah yang menyebabkan peristiwa traumatis dapat menjadi stimulus dan menimbulkan kembali reaksi trauma ketika individu tersebut mengingatnya. Sebagai tim rescue yang membantu para korban tidak hanya dengan membantu secara fisik saja melainkan mereka juga membantu secara psikis seperti memberikan kekuatan berupa dukungan sosial, ataupun menghibur mereka agar sang korban tidak merasakan kesedihan yang mungkin cukup mendalam setelah mengalami bencana. Sehingga ketika menolong korban para tim rescue harus memiliki sifat empati untuk tetap dapat membantu menolong para korban baik secara fisik maupun secara psikologis.
Gejala STSD selanjutnya yang dialami oleh tim penyelamat (rescue) ialah gejala avoidance, yang merupakan gejala untuk menghindari suatu tempat, peristiwa ataupun hal yang dapat mengingatkan pengalaman traumatis yang dialami oleh tim rescue. Penghindaran ini dilakukan dengan maksud untuk menghindari pikiran dan perasaan yang berkaitan dengan pengalaman traumatis yang dialami oleh tim rescue, seperti ketika sedang menyelamatkan korban bencana dan yang menjadi korban adalah kerabat dekat, ataupun ketika mereka sedang menolong korban, namun saat sedang diberi pertolongan korban tersebut meninggal, hal ini tentunya dapat menimbulkan kesedihan tersendiri bagi mereka yang menolong. Dalam sebuah penelitian, gejala avoidance yang juga dialami oleh para responden menunjukan responden sulit untuk mengungkapkan ekspresi apa yang sedang mereka rasakan. Penyebab dari hal ini adalah penilaian negative para responden terhadap masa lalu yang dapat menimbulkan rasa takut, tidak berdaya, serta malu (Ford, 2015 dalam Rahayu, 2021). Perasaan takut dan tidak berdaya ini lah yang dapat mengakibatkan rendahnya kemampuan seseorang dalam menjalin hubungan dengan lingkungan sekitarnya dan menyebabkan sulit nya mereka mengeskpresikan perasaan yang ada didalam dirinya sehingga memutuskan untuk melakukan tindak penghindaran. Oleh karena itu, dengan adanya penghindaran ini maka tim rescue atau tim SAR memiliki keterbatasan dalam menjalani kehidupannya di mana mereka menghindari beberapa tempat yang mengingatkan mereka pada suatu peristiwa traumatis yang pernah mereka alami saat melakukan penyelamatan korban bencana.
Gejala yang terakhir ialah gejala arousal, gejala ini berupa peningkatan aktivitas fisiologi dan juga psikologis pada diri individu, baik kecemasan, agresivitas dan lain sebagainya. Gejala arousal ini dapat terjadi dikarenakan adanya rangsangan yang diterima oleh tim rescue yang dapat memunculkan ataupun mengingatkan kembali kejadian traumatis yang dialaminya selama membantu korban pasca bencana dan perasaan itu muncul secara tiba-tiba pada mereka. Menurut Bahris (2020) dalam penelitian yang dilakukannya mengatakan bahwa gejala yang paling seringkali muncul pada saat pasca traumatic ialah gejala araousal, yaitu terjadi pada 11 hingga 13 minggu pasca kejadian traumatis yang dialami, hal ini disebabkan karena adanya rangsangan yang mana rangsangan tersebut memunculkan kembali kejadian traumatic secara mendadak atau kembalinya trauma (Regel & Joseph, 2017). Dari ketiga gejala yang disebutkan ini, maka akan menimbulkan STSD (secondary traumatic stress disorder) pada tim rescue, selain itu juga dapat terjadi pada tim paramedis yang juga turut membantu para korban kejadian bencana secara medis.
Peristiwa STSD yang terjadi pada tim rescue dipengaruhi oleh banyak faktor, beberapa diantaranya yaitu frekuensi paparan, dukungan sosial, jenis operasi lapangan yang dilakukan, dan lamanya waktu kerja (Rahayu, dkk., 2021). Faktor pertama yaitu, adanya hubungan antara frekuensi paparan dengan peristiwa STSD yang dialami oleh tim rescue. Individu yang mengalami beberapa kali paparan kejadian atau mengalami paparan berulang pada suatu peristiwa akan mengakibatkan individu tersebut berisiko mengalami STSD. Hal ini menunjukkan bahwa frekuensi paparan berhubungan secara signifikan dengan kejadian STSD dan sesuai dengan penelitian Hensel, et.al., (2015) yang menunjukkan bahwa frekuensi paparan merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya STSD. Penelitian juga menunjukkan bahwa para pekerja rescue yang mengalami paparan kejadian berulang empat kali lebih tinggi berisiko mengalami STSD. Hal ini karena seseorang yang kembali terkena peristiwa traumatis akan menyebabkan orang tersebut mengalami ingatan yang berulang yang tidak diinginkan. Paparan traumatis berulang yang tidak diinginkan inilah yang kemudian menyebabkan individu mengalami kecemasan yang berlebihan sehingga dapat memicu terjadinya STSD pada individu yang bersangkutan.
Faktor yang kedua yaitu, adanya hubungan antara dukungan sosial pada tim rescue dengan kejadian STSD yang dialaminya. Tim rescue tidak hanya memberikan dukungan sosial pada korban bencana yang ditolongnya, namun tim rescue juga membutuhkan dukungan sosial pada saat melakukan pekerjaannya, karena dukungan sosial yang didapat oleh tim rescue berpengaruh pada kejadian STSD yang akan dialaminya (Rahayu dkk., 2021). Dukungan sosial tersebut dapat berupa dukungan moril dari orang terdekat, tempat untuk saling berbagi suka dan duka serta memberikan nasihat dan solusi atas masalah yang sedang dihadapi. Dukungan sosial yang buruk dapat menjadi faktor yang memicu timbulnya STSD pada individu. Dukungan sosial mengacu pada bagaimana individu mengontrol terjadinya tekanan dan stres yang terus menerus dialaminya. Hal ini karena semakin kuat dan suportif orang-orang di sekitar maka semakin kecil kemungkinan mereka mengembangkan STSD. Namun, jika individu tidak memiliki dukungan sosial yang cukup, maka cenderung tidak siap menghadapi rangsangan dan peristiwa yang mengancam, terutama peristiwa bencana yang menimbulkan banyak korban. Dengan sedikit dukungan sosial, individu tidak dapat mempersiapkan diri untuk peristiwa atau ancaman terhadap diri mereka sendiri. Ketika hal ini terjadi, maka situasi menjadi tidak seimbang sehingga menimbulkan keadaan krisis. Krisis besar menyebabkan kecemasan yang meningkat dan dapat menyebabkan STSD (Yosep & Sutini, 2016) sehingga tim rescue tidak dapat bekerja dengan baik pada saat melakukan penyelamatan. Semakin tinggi dukungan sosial yang diterima, maka semakin sedikit stres yang akan dialami (Tentama, 2014) dan semakin kecil kemungkinan terjadinya STSD pada individu, termasuk para anggota tim rescue.
Faktor selanjutnya yaitu jenis pekerjaan di lapangan yang dilakukan oleh tim rescue. Ada dua jenis pekerjaan di lapangan yang dilakukan oleh tim rescue yaitu operasi penyelamatan terhadap bencana alam dan operasi penyelamatan terhadap bencana non alam. Pada sebuah penelitian menunjukan bahwa jenis operasi di lapangan tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan kejadian STSD pada tim rescue. Hal ini karena semua jenis operasi lapangan, baik alami maupun non-alami, berisiko bagi mereka yang menderita STSD. Hal ini juga telah dibuktikan oleh Quinn et al. (2019 dalam Rahayu, 2021) yang menyatakan bahwa jenis paparan tidak terkait secara signifikan dengan STSD. Oleh karena itu, apakah operasi penyelamatan yang dilakukan tersebut untuk tanggap bencana alami ataupun bencana non alami, keduanya sama-sama dapat menimbulkan STSD namun diantara keduanya tidak ada salah satu yang lebih memberikan pengaruh yang lebih besar terhadap munculnya STSD.
Faktor terakhir yang memengaruhi terjadinya STSD pada petugas penyelamat (rescue) yaitu waktu kerja tim rescue. Waktu kerja dengan tim rescue merupakan salah satu faktor risiko bagi penderita STSD. Penelitian menunjukkan bahwa pekerja yang mengalami STSD memiliki rata-rata jam kerja yang lebih lama dibandingkan pekerja yang tidak mengalami STSD. Hal ini karena semakin lama individu menghabiskan waktu bersama korban, maka semakin besar kemungkinan individu tersebut memiliki empati tingkat tinggi dan merasakan apa yang korban alami (Figley, 2012). Paparan yang diperoleh akibat terlalu lama bersama korban akan meningkatkan stresor pada para anggota tim rescue. Oleh karena itu, para anggota tim rescue harus memiliki batas waktu kerja potensial yang akan mengurangi terjadinya STSD pada anggota rescue saat melakukan penyelamatan.
STSD yang terjadi pada petugas rescue tentu akan menghambat proses penyelamatan yang dilakukan pada saat bencana. Olah karena itu diperlukan intervensi yang tepat untuk mencegah maupun untuk menangani masalah STSD yang terjadi pada petugas rescue. Para ahli menjelaskan mengenai intervensi STSD melalui pendekatan dua tingkat, yang terdiri dari pencegahan primer atau universal dan pencegahan sekunder atau selektif (Sprang et.a., 2019). Pencegahan universal/primer dilakukan pada tingkat organisasi untuk mengurangi faktor risiko dan memperkuat faktor pelindung untuk semua anggota tim rescue yang secara tidak langsung terkena stresor traumatis. Organisasi berperan penting dalam mencegah terjadinya STSD pada setiap anggota dengan berbagai tindakan pencegahan yang dilakukan sebelum menurunkan anggota untuk melakukan misi penyelamatan, sehingga pada saat melakukan penyelamatan petugas rescue lebih siap dengan situasi yang mereka hadapi. Kesiapan ini meliputi kesiapan fisik dan mental yang membuat para petugas rescue lebih kuat dan dapat bertahan pada saat melakukan penyelamatan dan dapat mencegah paparan stressor tidak langsung dari korban bencana.
Sedangkan pencegahan selektif/sekunder atau indikasi/pencegahan tersier dilakukan dengan pengobatan klinis untuk setiap anggota petugas rescue yang mengalami gangguan tingkat dalam pada fungsi pribadi atau pekerjaan yang terkait dengan STSD. Setiap petugas rescue yang menunjukkan gejala STSD akan diberikan intervensi berupa pengobatan klinis sesuai dengan tingkat gejala yang dialami (Sprang et.a., 2019). Pada saat individu menunjukkan gejala intrusi, maka intervensi yang dilakukan ditujukan untuk menghilangkan pengalaman dan kenangan menyedihkan yang didapatkan pada saat membantu korban bencana, menghilangkan ingatan mengenai trauma mendalam yang dialami oleh korban bencana, dan tekanan fisik ataupun psikologis yang terjadi pada saat melakukan penyelamatan tanggap bencana. Pada gejala ini, pendekatan intervensi yang dapat dilakukan yaitu berupa psikoedukasi, peralihan pikiran, toleransi dan regulasi emosi, mindfulnes, dan trauma exposure. Kemudian, pada gejala avoidance, intervensi dilakukan untuk menghilangkan ataupun menghindari hal-hal yang dapat mengingatkan tentang trauma yang dialami, seperti tempat terjadinya bencana, korban bencana, dan hal lain yang terkait dengan penyebab terjadinya trauma yang dilakukan dengan pendekatan psikoedukasi, peningkatan relasi, wawasan motivasi, dan strategi pengelolaan trauma serta refleksi diri. Sedangkan intervensi pada gejala arausal dimaksudkan untuk menghilangkan gangguan-angguan yang dialami akibat STSD seperti gangguan perilaku, gangguan pikiran, gangguan konsentrasi, kewaspadaan berlebihan hingga gangguan tidur dapat dilakukan dengan beberapa pendekatan, yaitu psikoedukasi, regulasi emosi, CBT, dual awareness, pengembangan diri, dan sebagainya.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa para petugas yang terlibat dalam penyelamatan bencana (rescue workers) seperti polisi, pemadam kebakaran, tim SAR, tim medis hingga relawan bencana biasanya tergolong dalam populasi rentan terpapar stressor traumatis. Hal ini disebabkan karena sebagian besar waktu yang dimiliki, mereka melibatkan diri dalam pengalaman yang melibatkan peristiwa traumatis pada korban bencana yang mereka tolong. Hal ini sangat berlaku pada petugas penyelamat yang menyaksikan dan mendengarkan langsung penderitaan, kesedihan, dan yang dialami oleh korban bencana, bahkan menyaksikan korban bencana meninggal dunia pada saat proses penyelamatan. Oleh karena itu, konsekuensi yang ditimbulkan dari situasi kerja mereka alami adalah adanya pengalaman tekanan psikologis yaitu secondery traumatic stress disorder (STSD) yang muncul akibat membantu atau ingin membantu individu yang mengalami trauma atau penderitaan, yang dalam hal ini adalah para korban bencana. STS memiliki gejala yang mirip dengan gangguan stres pasca trauma (PTSD) yaitu intrusion, avoidance, dan juga arousal, namun gejala ini diperoleh dari paparan individu yang mengalami trauma bukan dari paparan peristiwa traumatis secara langsung. STSD yang terjadi pada tim rescue dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu frekuensi paparan, dukungan sosial, jenis operasi lapangan yang dilakukan, dan lamanya waktu kerja. Untuk mengatasi permasalahan STSD pada petugas rescue maka diperlukan intervensi yang tepat untuk menanganinya. Intervensi ini dilakukan melalui pendekatan dua tingkat, yang terdiri dari pencegahan primer atau universal dan pencegahan sekunder atau selektif. Oleh karena itu, penting untuk menyadari STSD yang terjadi pada para petugas rescue agar dapat mencegah dan mengatasinya.
0 Comments