Pemerintah melalui
Menteri Siti Nurbaya Bakar Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
(KLHK) bahwa mencatat limbah bahan berbahaya dan
beracun atau B3 medis Covid-19 mencapai lebih dari 18.000 ton hingga akhir Juli
2021. Sementara itu, Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi)
memperkirakan rata-rata sampah medis per hari menyentuh 383 ton.
Dengan adanya
penumpukan limbah beracun dan berbahaya, pemerintah mengalokasikan dana sebesar
Rp 1,3 triliun serta bekerja sama dengan berbagai pihak untuk menangani sampah
limbah medis Covid-19 di seluruh tanah air.
Direktur
Penilaian Kinerja Pengelolaan Limbah B3 dan Non B3 Kementerian LHK Sinta
Saptarina mengatakan, terdapat sembilan jenis limbah medis, salah satunya
memiliki karakteristik yang unik dan sangat berbeda yang dinamakan dengan
limbah medis yang bersifat infeksius.
"KLHK berusaha membuat intervensi baik kebijakan atau kegiatan selain SE MENLHK Nomor 3 Tahun 2021 ada intervensi kegiatan seperti sosialisasi dan kampanye, pendampingan. Kami mengalokasikan DAK khusus untuk pemda kabupaten/kota seperti untuk drop box, lalu pembuatan depo
"Kenapa dia
berbeda? Karena memiliki sifat yang menularkan. Jadi ada treatment khusus untuk
itu. Limbah infeksius ini harus ditangani dalam waktu 2x24 jam kalau dalam suhu
normal. Sedangkan kalau misalnya bisa ditaruh di cooler box atau freezer itu
bisa lebih dari 2x24 jam," ujar Sinta dalam dialog 'Peranan Pemerintah
dalam Pengelolaan Limbah Covid 19' yang disiarkan melalui kanal Youtube pada Kamis
(19/08/2021).
Di masa pandemi
ini, respons KLHK terkait penanganan limbah medis Covid-19 antara lain
pelarangan pembuangan limbah medis infeksius ke TPA. KLHK juga membuat aplikasi
berbasis web sehingga memudahkan untuk pemda bisa mengupdate laporan mengenai
limbah medis dari jumlah hingga di mana tempat pembuangan limbah. KLHK juga
rutin melakukan webinar mengenai pengelolaan limbah medis Covid-19 yang baik
dan benar.
Potensi sumber
limbah B3 medis Covid-19 berasal dari beberapa tempat antara lain proses
vaksinasi, rumah sakit darurat, pusat karantina, serta rumah tangga yang
melakukan isolasi mandiri. Limbah medis tersebut terdiri atas infus bekas,
masker, vial vaksin, jarum suntik, face shield, perban, hazmat, APD, pakaian
medis, sarung tangan, alat tes usap antigen/PCR, hingga alkohol pembersih swab.
Dalam kesempatan
yang sama, Sekretaris Jenderal Persi Lia G. Partakusuma menjelaskan alur
pengelolaan limbah B3 medis Covid-19 yang berasal dari RS.
"Kami di
rumah sakit itu yang pertama akan mengidentifikasi dulu mana yang harus kita
buang atau kita letakkan di tempat yang merupakan tempat limbah medis, mana
yang bukan merupakan limbah non medis. Jadi istilahnya kita pilah," ujar
Lia.
"Setelah
kita pilah kemudian kita akan menaruhnya ke tempat khusus. Di rumah sakit harus
punya yang namanya tempat penampungan sementara," lanjutnya.
Selain itu, Lia
juga menjelaskan mengenai pemilahan limbas B3 medis Covid-19 di RS yang mana
limbah dibagi menjadi 3 tempat
Sampah khusus yang dilapisi dengan plastik bewarna kuning merupakan limbah medis infeksius seperti selang infus, sarung tangan, dan lain-lain. Sampah organik yang dilapisi dengan kantong hitam seperti sisa makanan, kardus, dan kertas. Sampah anorganik dilapisi kantong hitam untuk plastik bekas, kaleng bekas, dan lain-lain.
Selain Sekjen Persi juga hadir Olivia Allan Sumargo dari CEO PT. Jasa medivest, Adityasanti Sofia dari Rpgram Grakan Indonesia Diet Kantong Plastik dan Sinta Saptarina Direktur Peniaian kinerja Pengelolaan Limbah B3 dan Non B3 Kementrian LHK.
Disela-sela diskusi tersebut Panitia memberikan peluang kepada peserta dan wartawan untuk melakukan pertanyaan
0 Comments