Eka Putra Wirman
(Rektor UIN Imam Bonjol Padang)
Kebijakan pemerintah provinsi Sumatera Barat melarang shalat berjamaah dan
meniadakan segala bentuk kegiatan keagamaan yang menghadirkan kerumunan di masjid
untuk membatasi penyebaran pandemi korona sudah pasti mengecewakan hati sebagian
umat Islam. Kejanggalan muncul secara otomatis. Masjid yang selama ini menjadi salah
satu episentrum interaksi dan pergerakan umat tiba-tiba di-lockdown dan kehilangan fungsi
pentingnya tersebut. Masjid dipaksa untuk ditinggalkan, padahal ia adalah tempat hati umat
terpaut.
Ditinjau dari sudut pandang hukum Islam, kebijakan tersebut amatlah logis. Ada hidup
‘nafs’ yang mesti dijaga. Hingga tanggal 10 April 2020, data pada laman Website Corona
Sumbar (corona.sumbarprov.go.id) menunjukkan 31 orang dikonfirmasi positif terjangkit
korona, 106 orang berstatus pasien dalam pengawasan (PDP), dan 4.573 orang berstatus
orang dalam pemantauan (ODP). Jumlah itu menjadi bagian dari konfirmasi positif korona di
Indonesia yang telah menyentuh angka 3.512 kasus.
Virus korona menyasar setiap kerumunan dan pertemuan orang dalam jumlah banyak.
Rumah ibadah tidak dapat dikecualikan. Dalam sebuah konferensi pers dikonfirmasi bahwa
mayoritas dari 226 orang yang terindikasi positif COVID-19 setelah menjalani rapid test
merupakan jamaah sebuah gereja di Lembang. Terdapat pula 144 jamaah tabligh sebuah
masjid di Kebon Jeruk Jakarta Barat yang diisolasi setelah 3 di antara mereka terbukti positif
COVID-19.
Kondisi darurat ini memberikan legitimasi hukum yang kuat terhadap pembatasan
kegiatan di rumah ibadah; keselamatan umat jauh lebih utama. Pemerintah Kerajaan Arab
Saudi bahkan mengambil kebijakan yang lebih ekstrim; menutup akses masjid al-haram,
melarang kegiatan umrah hingga waktu yang belum ditentukan, dan memberitahukan
kemungkinan besar peniadaan ibadah haji tahun 2020. Senada dengan itu, Menteri Agama
RI melalui Surat Edaran Nomor 6 Tahun 2020 telah mengamanatkan pelaksanaan shalat
tarawih dan shalat idul fitri di rumah.
Kendati berterima secara hukum, namun kebijakan tersebut menyisakan satu ruang
kosong jika ditilik dari perspektif sosiologi agama. Tipikal masyarakat Sumbar yang secara
sosiologis memiliki spirit keberislaman yang kental luput dijadikan sebagai bahan
pertimbangan. Heningnya masjid yang selalu ramai dengan dakwah secara tiba-tiba
memberikan efek kejut luar biasa bagi masyarakat, hingga tak heran banyak protes yang
mengemuka. Kegalauan sosiologis ini menjadi ruang antara dan problem yang mesti cepat
diisi dan dicarikan solusinya.
Optimalisasi Peran Masjid
Dari sekian banyak kebijakan yang telah diterbitkan pemerintah provinsi Sumatera
Barat untuk membatasi penyebaran korona, sudah saatnya peran masjid dioptimalkan untuk
mengefektifkan pelaksanaan berbagai kebijakan tersebut. Pembatasan kerumunan di masjid
tetap dilakukan, namun ruang gerak masjid tidak boleh dipersempit. Masjid harus tetap
melaju pada trayektorinya yang khas, yaitu corong penyampai pesan-pesan keagamaan
Tugas pemerintah adalah mencarikan strategi agar peran masjid tidak terdegradasi di
tengah musibah yang sedang dihadapi bersama, namun sebaliknya justru menjadi salah
satu benteng utama dalam menghadang musibah tersebut.
Dengan kerangka berpikir yang demikian, optimalisasi peran masjid dapat
diformalisasi melalui kebijakan; masjid sebagai salah satu elemen penting dalam membatasi
penyebaran korona di Sumatera Barat. Itulah idealitas, realita yang semestinya ada di negeri
adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah. Sebagai bentuk keseriusan, optimalisasi
peran masjid dapat dimasukkan sebagai item penting dalam Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah yang sekarang dimaksimalisasi dan banyak dialihkan untuk menangani
pandemi korona. Pemerintah dapat memberikan insentif dakwah kepada masjid dan
mushalla yang sebagian di antaranya sudah mulai mengalami krisis finansial akibat
minimalisasi aktifitas keumatan. Pola tersebut akan menghasilkan relasi mutual, di mana
pemerintah membantu kesinambungan aktifitas keagamaan di masjid, di sisi lain masjid
melalui aktifitas keagamaan yang dilaksanakan membantu pemerintah untuk
mensosialisasikan kebijakan-kebijakan terkait penanganan virus korona kepada masyarakat.
Untuk mengoptimalkan peran masjid tersebut, pemerintah memerlukan sinergitas
dengan lembaga dan institusi Islam yang ada. Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI),
Majelis Ulama Indonesia (MUI), Dewan Masjid Indonesia (DMI), Ormas-Ormas Islam,
Pemerintah Daerah, dan berbagai organisasi terkait harus dilibatkan secara aktif sebagai
katalisator penggerak. Berbagai lembaga dan institusi tersebut memiliki potensi dan sumber
daya otoritatif yang dapat diberdayakan untuk mengisi program-program yang nantinya
dicanangkan. Figur-figur yang memiliki kekuatan hubungan emosional dengan umat akan
dapat mengorganisir dan mengefektifkan program-program tersebut dengan baik. Di
samping itu, keterlibatan institusi dan lembaga tersebut juga dapat memperkokoh solidaritas
antar elemen dalam rangka memerangi virus korona sebagai musuh bersama saat ini.
Langkah Nyata Dimulai dari Masjid
Wujud nyata dari program yang dapat dicanangkan oleh pemerintah provinsi
Sumatera Barat adalah menghidupkan kegiatan dakwah dari masjid dalam bentuk satu arah.
Ceramah para dai disosialisasikan melalui pengeras suara, sehingga dakwah tetap dapat
berjalan tanpa ada aktifitas berkerumun di masjid. Masjid dan mushalla diberdayakan untuk
melaksanakan kegiatan dakwah satu arah tersebut minimal sebanyak dua kali dalam
seminggu.
Sebagai program resmi pemerintah, orientasi dakwah dapat ditentukan dan
diseragamkan secara spesifik guna memberikan edukasi keagamaan dalam rangka
membatasi penyebaran korona di tengah masyarakat. Bimbingan Islam dalam menghadapi
musibah, cara Islam menyikapi penyebaran wabah, upaya-upaya konkrit yang dilakukan
umat Islam dalam mengatasi wabah yang terefleksi dalam lintasan sejarah adalah secuil
contoh konten dakwah yang dapat disampaikan oleh para dai.
Dengan adanya kegiatan dakwah tersebut, program pemerintah dalam mengedukasi
masyarakat dapat berjalan efektif dengan adanya peran masjid. Dai memiliki posisi sosial
yang strategis di tengah masyarakat Sumatera Barat, sehingga edukasi melalui dakwah di
masjid akan meninggalkan kesan yang lebih. Jika sosialisasi kesehatan memberikan
penjelasan saintifik dan menyentuh rasio umat, maka edukasi dakwah melaju pada
trayektori rohani dan menyentuh kalbu umat.
Kehadiran edukasi dakwah menjadi penyeimbang dalam menumbuhsuburkan
optimisme melawan penyebaran korona di tengah masyarakat. Dakwah dengan pola seperti
ini adalah solusi yang tepat. Umat senantiasa tercerahkan oleh dakwah dan tetap
mendekapkan telinga ke sound system masjid dari rumah masing-masing. Dimensi
spritualitas umat dan keterpautan mereka kepada masjid tidak lagi menjadi korban dalam
menjalankan pembatasan interaksi fisik yang digalakan pemerintah.
(Rektor UIN Imam Bonjol Padang)
Kebijakan pemerintah provinsi Sumatera Barat melarang shalat berjamaah dan
meniadakan segala bentuk kegiatan keagamaan yang menghadirkan kerumunan di masjid
untuk membatasi penyebaran pandemi korona sudah pasti mengecewakan hati sebagian
umat Islam. Kejanggalan muncul secara otomatis. Masjid yang selama ini menjadi salah
satu episentrum interaksi dan pergerakan umat tiba-tiba di-lockdown dan kehilangan fungsi
pentingnya tersebut. Masjid dipaksa untuk ditinggalkan, padahal ia adalah tempat hati umat
terpaut.
Ditinjau dari sudut pandang hukum Islam, kebijakan tersebut amatlah logis. Ada hidup
‘nafs’ yang mesti dijaga. Hingga tanggal 10 April 2020, data pada laman Website Corona
Sumbar (corona.sumbarprov.go.id) menunjukkan 31 orang dikonfirmasi positif terjangkit
korona, 106 orang berstatus pasien dalam pengawasan (PDP), dan 4.573 orang berstatus
orang dalam pemantauan (ODP). Jumlah itu menjadi bagian dari konfirmasi positif korona di
Indonesia yang telah menyentuh angka 3.512 kasus.
Virus korona menyasar setiap kerumunan dan pertemuan orang dalam jumlah banyak.
Rumah ibadah tidak dapat dikecualikan. Dalam sebuah konferensi pers dikonfirmasi bahwa
mayoritas dari 226 orang yang terindikasi positif COVID-19 setelah menjalani rapid test
merupakan jamaah sebuah gereja di Lembang. Terdapat pula 144 jamaah tabligh sebuah
masjid di Kebon Jeruk Jakarta Barat yang diisolasi setelah 3 di antara mereka terbukti positif
COVID-19.
Kondisi darurat ini memberikan legitimasi hukum yang kuat terhadap pembatasan
kegiatan di rumah ibadah; keselamatan umat jauh lebih utama. Pemerintah Kerajaan Arab
Saudi bahkan mengambil kebijakan yang lebih ekstrim; menutup akses masjid al-haram,
melarang kegiatan umrah hingga waktu yang belum ditentukan, dan memberitahukan
kemungkinan besar peniadaan ibadah haji tahun 2020. Senada dengan itu, Menteri Agama
RI melalui Surat Edaran Nomor 6 Tahun 2020 telah mengamanatkan pelaksanaan shalat
tarawih dan shalat idul fitri di rumah.
Kendati berterima secara hukum, namun kebijakan tersebut menyisakan satu ruang
kosong jika ditilik dari perspektif sosiologi agama. Tipikal masyarakat Sumbar yang secara
sosiologis memiliki spirit keberislaman yang kental luput dijadikan sebagai bahan
pertimbangan. Heningnya masjid yang selalu ramai dengan dakwah secara tiba-tiba
memberikan efek kejut luar biasa bagi masyarakat, hingga tak heran banyak protes yang
mengemuka. Kegalauan sosiologis ini menjadi ruang antara dan problem yang mesti cepat
diisi dan dicarikan solusinya.
Optimalisasi Peran Masjid
Dari sekian banyak kebijakan yang telah diterbitkan pemerintah provinsi Sumatera
Barat untuk membatasi penyebaran korona, sudah saatnya peran masjid dioptimalkan untuk
mengefektifkan pelaksanaan berbagai kebijakan tersebut. Pembatasan kerumunan di masjid
tetap dilakukan, namun ruang gerak masjid tidak boleh dipersempit. Masjid harus tetap
melaju pada trayektorinya yang khas, yaitu corong penyampai pesan-pesan keagamaan
Tugas pemerintah adalah mencarikan strategi agar peran masjid tidak terdegradasi di
tengah musibah yang sedang dihadapi bersama, namun sebaliknya justru menjadi salah
satu benteng utama dalam menghadang musibah tersebut.
Dengan kerangka berpikir yang demikian, optimalisasi peran masjid dapat
diformalisasi melalui kebijakan; masjid sebagai salah satu elemen penting dalam membatasi
penyebaran korona di Sumatera Barat. Itulah idealitas, realita yang semestinya ada di negeri
adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah. Sebagai bentuk keseriusan, optimalisasi
peran masjid dapat dimasukkan sebagai item penting dalam Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah yang sekarang dimaksimalisasi dan banyak dialihkan untuk menangani
pandemi korona. Pemerintah dapat memberikan insentif dakwah kepada masjid dan
mushalla yang sebagian di antaranya sudah mulai mengalami krisis finansial akibat
minimalisasi aktifitas keumatan. Pola tersebut akan menghasilkan relasi mutual, di mana
pemerintah membantu kesinambungan aktifitas keagamaan di masjid, di sisi lain masjid
melalui aktifitas keagamaan yang dilaksanakan membantu pemerintah untuk
mensosialisasikan kebijakan-kebijakan terkait penanganan virus korona kepada masyarakat.
Untuk mengoptimalkan peran masjid tersebut, pemerintah memerlukan sinergitas
dengan lembaga dan institusi Islam yang ada. Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI),
Majelis Ulama Indonesia (MUI), Dewan Masjid Indonesia (DMI), Ormas-Ormas Islam,
Pemerintah Daerah, dan berbagai organisasi terkait harus dilibatkan secara aktif sebagai
katalisator penggerak. Berbagai lembaga dan institusi tersebut memiliki potensi dan sumber
daya otoritatif yang dapat diberdayakan untuk mengisi program-program yang nantinya
dicanangkan. Figur-figur yang memiliki kekuatan hubungan emosional dengan umat akan
dapat mengorganisir dan mengefektifkan program-program tersebut dengan baik. Di
samping itu, keterlibatan institusi dan lembaga tersebut juga dapat memperkokoh solidaritas
antar elemen dalam rangka memerangi virus korona sebagai musuh bersama saat ini.
Langkah Nyata Dimulai dari Masjid
Wujud nyata dari program yang dapat dicanangkan oleh pemerintah provinsi
Sumatera Barat adalah menghidupkan kegiatan dakwah dari masjid dalam bentuk satu arah.
Ceramah para dai disosialisasikan melalui pengeras suara, sehingga dakwah tetap dapat
berjalan tanpa ada aktifitas berkerumun di masjid. Masjid dan mushalla diberdayakan untuk
melaksanakan kegiatan dakwah satu arah tersebut minimal sebanyak dua kali dalam
seminggu.
Sebagai program resmi pemerintah, orientasi dakwah dapat ditentukan dan
diseragamkan secara spesifik guna memberikan edukasi keagamaan dalam rangka
membatasi penyebaran korona di tengah masyarakat. Bimbingan Islam dalam menghadapi
musibah, cara Islam menyikapi penyebaran wabah, upaya-upaya konkrit yang dilakukan
umat Islam dalam mengatasi wabah yang terefleksi dalam lintasan sejarah adalah secuil
contoh konten dakwah yang dapat disampaikan oleh para dai.
Dengan adanya kegiatan dakwah tersebut, program pemerintah dalam mengedukasi
masyarakat dapat berjalan efektif dengan adanya peran masjid. Dai memiliki posisi sosial
yang strategis di tengah masyarakat Sumatera Barat, sehingga edukasi melalui dakwah di
masjid akan meninggalkan kesan yang lebih. Jika sosialisasi kesehatan memberikan
penjelasan saintifik dan menyentuh rasio umat, maka edukasi dakwah melaju pada
trayektori rohani dan menyentuh kalbu umat.
Kehadiran edukasi dakwah menjadi penyeimbang dalam menumbuhsuburkan
optimisme melawan penyebaran korona di tengah masyarakat. Dakwah dengan pola seperti
ini adalah solusi yang tepat. Umat senantiasa tercerahkan oleh dakwah dan tetap
mendekapkan telinga ke sound system masjid dari rumah masing-masing. Dimensi
spritualitas umat dan keterpautan mereka kepada masjid tidak lagi menjadi korban dalam
menjalankan pembatasan interaksi fisik yang digalakan pemerintah.
0 Comments