JS--- Negara Jepang terkenal akan agama shinto-nya yang menyembah matahari dan penduduk Jepang percaya bahwa kaisar Jepang adalah keturunan langsung dari Dewa Matahari atau Amaterasu Omikami. Apakah itu benar? Terus gimana cara berdoa dan ibadah orang Jepang? Apakah mereka mengenal surga dan neraka? Semuanya akan dijawab disini. Jadi jangan kemana-mana, yuk langsung saja kita simak!
Pengertian Shinto
Shinto berasal dari kata Shin dan To, yaitu kombinasi dua huruf kanji yang berarti Jalan Kami (Tuhan atau Dewa). Nama ini mulai dipakai pada abad ke 6, bersamaan dengan kedatangan agama Buddha, untuk membedakan dengan jelas agama lama dengan agama baru. Jadi jelas sekali, kalau masyarakat Jepang dulu menjalankan kepercayaannya apa adanya dan tanpa nama atau istilah apapun.
Shinto adalah agama kuno yang merupakan campuran dari animisme dan dinamisme yaitu suatu kepercayaan primitif yang percaya pada kekuatan benda, alam atau spirit. Kepercayaan tua semacam ini biasanya penuh dengan berbagai ritual dan perayaan yang biasanya berhubungan dengan musim, seperti musim panen, roh, spirit, dan lain-lain.
Layaknya suatu suatu kepercayaan yang berakar dari Animisme, Shinto sama sekali tidak memiliki ajaran khusus yang harus dipelajari. Shinto juga tidak memiliki kitab suci, simbol, kiblat dan juga nabi sebagai penemu atau penyebar agama pertama kali, jadi Shinto lahir dan berkembang secara alami di masyarakat.
Sejarah Shinto
Sedangkan khusus tentang ajaran Shinto yang menyebutkan Kaisar sebagai Dewa Matahari sepertinya mulai muncul dan populer pada masa Periode Meiji (1868-1912) yang pada saat itu menjadikan Shinto sebagai agama resmi negara dan Kaisar sebagai Living God atau dewa yang hidup di dunia. Jadi dalam kasus ini lebih kental unsur politisnya dibanding agama.
Kemudian penjelasan tentang proses terbentuknya alam semesta, Kojiki, Izanami dan Izanagi hanyalah sekedar mityologi semata. Jadi kasusnya jelas sangat berbeda dengan kepercayaan agama semitis, yaitu Adam dan Hawa yang mutlak harus dipercayai.
Cukup banyak artikel yang menyebutkan Shinto sebagai agama yang menyembah leluhur. Pendapat yang kurang tepat tentu saja. Kuil Shinto sama sekali tidak berfungsi sebagai tempat pemujaan untuk leluhur. Shinto sama sekali tidak mengenal upacara kematian. Semua makam dan ritual kematian di negara tersebut menggunakan tradisi Buddha. Khusus untuk beberapa kuil tertentu yang termasuk kelompok Imperial Shinto seperti Yasukuni adalah perkecualiannya. Di kuil tersebut dibangun untuk menghormati keluarga kaisar dan para tentara korban perang.
Tuhan Menurut Shinto
Tuhan dalam kepercayaan Shinto adalah sangat sederhana yaitu : "Semua benda di dunia, baik yang bernyawa ataupun tidak, pada hakikatnya memiliki roh, spirit atau kekuatan jadi wajib dihormati". Kekuatan supernatural ini disebut dengan istilah "kami", kemudian ditambahkan kata akhiran "sama", bentuk hormat untuk nama orang, atau dewa sehingga menjadi "kamisama". Kamisama sebagai Tuhan, hidup di segala tempat dan memiliki nama sesuai dengan benda yang ditempatinya. Tuhan yang berdiam di gunung diberi nama Kami no Yama, kemudian ada Kami no Kawa (Tuhan sungai), Kami no Hana (Tuhan bunga).
Pengertian Shinto
Shinto berasal dari kata Shin dan To, yaitu kombinasi dua huruf kanji yang berarti Jalan Kami (Tuhan atau Dewa). Nama ini mulai dipakai pada abad ke 6, bersamaan dengan kedatangan agama Buddha, untuk membedakan dengan jelas agama lama dengan agama baru. Jadi jelas sekali, kalau masyarakat Jepang dulu menjalankan kepercayaannya apa adanya dan tanpa nama atau istilah apapun.
Shinto adalah agama kuno yang merupakan campuran dari animisme dan dinamisme yaitu suatu kepercayaan primitif yang percaya pada kekuatan benda, alam atau spirit. Kepercayaan tua semacam ini biasanya penuh dengan berbagai ritual dan perayaan yang biasanya berhubungan dengan musim, seperti musim panen, roh, spirit, dan lain-lain.
Layaknya suatu suatu kepercayaan yang berakar dari Animisme, Shinto sama sekali tidak memiliki ajaran khusus yang harus dipelajari. Shinto juga tidak memiliki kitab suci, simbol, kiblat dan juga nabi sebagai penemu atau penyebar agama pertama kali, jadi Shinto lahir dan berkembang secara alami di masyarakat.
Sejarah Shinto
Sedangkan khusus tentang ajaran Shinto yang menyebutkan Kaisar sebagai Dewa Matahari sepertinya mulai muncul dan populer pada masa Periode Meiji (1868-1912) yang pada saat itu menjadikan Shinto sebagai agama resmi negara dan Kaisar sebagai Living God atau dewa yang hidup di dunia. Jadi dalam kasus ini lebih kental unsur politisnya dibanding agama.
Kemudian penjelasan tentang proses terbentuknya alam semesta, Kojiki, Izanami dan Izanagi hanyalah sekedar mityologi semata. Jadi kasusnya jelas sangat berbeda dengan kepercayaan agama semitis, yaitu Adam dan Hawa yang mutlak harus dipercayai.
Cukup banyak artikel yang menyebutkan Shinto sebagai agama yang menyembah leluhur. Pendapat yang kurang tepat tentu saja. Kuil Shinto sama sekali tidak berfungsi sebagai tempat pemujaan untuk leluhur. Shinto sama sekali tidak mengenal upacara kematian. Semua makam dan ritual kematian di negara tersebut menggunakan tradisi Buddha. Khusus untuk beberapa kuil tertentu yang termasuk kelompok Imperial Shinto seperti Yasukuni adalah perkecualiannya. Di kuil tersebut dibangun untuk menghormati keluarga kaisar dan para tentara korban perang.
Tuhan Menurut Shinto
Tuhan dalam kepercayaan Shinto adalah sangat sederhana yaitu : "Semua benda di dunia, baik yang bernyawa ataupun tidak, pada hakikatnya memiliki roh, spirit atau kekuatan jadi wajib dihormati". Kekuatan supernatural ini disebut dengan istilah "kami", kemudian ditambahkan kata akhiran "sama", bentuk hormat untuk nama orang, atau dewa sehingga menjadi "kamisama". Kamisama sebagai Tuhan, hidup di segala tempat dan memiliki nama sesuai dengan benda yang ditempatinya. Tuhan yang berdiam di gunung diberi nama Kami no Yama, kemudian ada Kami no Kawa (Tuhan sungai), Kami no Hana (Tuhan bunga).
Hubungan Tuhan dan Manusia
Hubungan antara Tuhan dengan manusia menurut konsep Shinto juga cukup unik. Tuhan hidup di laut, sungai, sawah atau dengan kata lain hidup tidak jauh dari kehidupan mereka sehari hari. Mikoshi atau Dashi misalnya sebagai perwujudan dari kereta bagi Kami, yang digotong beramai ramai selama festival di kuil mungkin adalah salah satu contoh menarik. Simbul Tuhan atau "Kereta Tuhan" ini tidaklah diarak dengan hormat dan khidmad namun diguncang guncangkan, dibenturkan, dibenamkan ke laut serta dinaiki beramai ramai bahkan diduduki pada bagian atapnya oleh beberapa orang selama proses prosesi. Hal yang cukup aneh. "Apakah Tuhannya tidak marah ?"
Surga dan Neraka
Surga dan neraka ataupun ajaran tentang kehidupan alam akhirat sepertinya adalah hal yang umum ditemukan pada ajaran agama. Namun Shinto sepertinya memiliki tradisi yang sedikit menyimpang. Konsep tentang surga dan neraka hampir tidak disentuh sama sekali dalam kepercayaan Shinto. Hal ini bisa dilihat dari hampir tidak ditemukannya ada ritual upacara kematian pada tradisi Shinto. Seperti yang telah saya sebutkan di atas, ritual dan tata cara pemakaman di Jepang sepenuhnya dilakukan dengan tata cara agama Buddha dan sisanya menggunakan ritual Kristen. Kuburan dan tempat makam juga umumnya berada di bawah organisai kedua agama tersebut. Sepertinya ritual Shinto lebih difokuskan pada kehidupan duniawi atau kehidupan sekarang terutama yang berhubungan dengan alam khususnya keselaran antara manusia dengan alam sekitarnya.
Doa dan Ibadah
Shinto kurang begitu akrab dengan aktivitas ibadah dalam arti menyembah dengan tujuan memuji dan mengagungkan kebesaran Kamisama atau Tuhan. Mereka cendrung lebih dekat dengan konsep "doa" yaitu menyembah dengan tujuan "meminta sesuatu" kepada Tuhan seperti agar lulus ujian, diterima bekerja di perusahaan tertentu, dikaruniai kesehatan, umur panjang dan berbagai permintaan yang bersifat duniawi. Dengan konsep ini tentu saja ibadah bukanlah sesuatu yang wajib dan menjadi keharusan. Jadi secara umum bisa dikatakan kebanyakan orang Jepang berdoa cukup hanya setahun sekali yaitu saat tahun baru. Pada saat itu kita bisa menyaksikan puluhan bahkan ratusan ribu orang yang datang memenuhi memadati areal kuil.
Tata Cara Ibadah
Tata cara ibadah atau berdoa dalam kuil Shinto sangat sederhana yaitu melemparkan sekeping uang logam sebagai sumbangan di depan altar, mencakupkan kedua tangan di dada dan selesai. Jadi semua proses berdoa yang dilakukan dengan berdiri ini tidak lebih dari sepuluh detik. Doa dilakukan tidak mengenal hari atau jam khusus jadi bebas dilakukan kapan saja. Sedikit catatan, bisa saya sebutkan bahwa tata cara doa di kuil Shinto dengan kuil Buddha sangatlah mirip. Yang sedikit berbeda adalah di kuil Buddha tangan dicakupkan ke depan dada dengan pelan, hening dan tanpa suara, sedangkan kuil Shinto adalah sebaliknya yaitu mencakupkan tangan dengan keras sehingga menghasilkan suara sebanyak dua kali (mirip tepuk tangan).
Tidak Ada Pembangunan Kuil Baru
Satu hal lagi yang paling menarik dari Shinto adalah hampir tidak pernah adanya pendirian kuil baru di dalam negeri. Semua bangunan kuil ataupun Tera (untuk agama Buddha) yang ada sekarang ini adalah banguan lama atau kuil baru hasil renovasi dari kuil lama. Sehingga bukan pemandangan aneh kalau pemukiman kota baru hampir bersih dari banguan tempat ibadah Shinto maupun Buddha namun yang ada dan mudah ditemukan justru adalah bangunan gereja atau bahkan mungkin masjid.
Pendeta
Ketika kita memasuki kuil Shinto, umumnya kita akan disambut oleh seorang atau sekelompok gadis muda berpakaian lebar berwarna putih bersih dan rok lebar berwarna merah menyala menutup sampai mata kaki. Rambut lurus sisir rapi dan diikat lurus kebelakang. Mereka adalah orang yang mengabdikan diri untuk kuil dan dinamai dengan sebutan Miko. Tugas utama mereka adalah memimpin ritual tertentu, menari dan juga sekaligus juga sebagai sebagai penjual tiket masuk, penjual Omamori (jimat keberuntungan) serta menyapu atau menjaga kebersihan kuil. (bersih bersih dianggap juga sebagai bagian dari ritual).
Status untuk menjadi seorang Miko cukup unik karena dituntut harus masih gadis. Jadi adalah hal umum kalau profesi ini cendrung hanya dijalankan selama beberapa tahun saja dan harus mengundurkan diri setelah berkeluarga. Status mereka sebagai pelayan kuil atau milik Kamisama, jadi mencoba menyentuh atau mengajak kenalan adalah sangat tidak umum dilakukan.
Kemudian untuk pendeta pria dikenal dengan nama Kannushi mempunyai tugas yang kurang lebih sama dengan pendeta wanita. Karena Shinto tidak mengenal ajaran maka tugas sebagai penceramah agama, khotbah dan sejenisnya tentu saja tidak ada.
Festival
Festival dan perayaan atau yang dikenal dengan nama Matsuri dalam bahasa Jepang adalah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan ritual Shinto. Bagi masyarakat umum, matsuri dianggap tidak lebih dari perayaan budaya tahunan belaka. Masing masing kuil mempunyai matsurinya sendiri sendiri dan tiap kuil ataupun daerah yang satu dengan daerah yang lain mempunyai keunikannya perayaannya sendiri sendiri. Perayaan matsuri yang bersifat nasional seperti halnya hari raya agama yang kita kenal sama sekali tidak dijumpai di Jepang. Shinto saat ini kebanyakan disebut sebagai No Religion, yaitu suatu konsep baru yaitu "bermoral dan beretika tanpa harus beragama atau Percaya pada Tuhan tanpa harus beragama"
Kebebasan
Kebebasan yang dimaksud disini adalah dalam arti luas khususnya dalam hal agama dan kepercayaan. Seperti yang sudah ditulis sebelumnya bahwa tidak ada keharusan bagi seorang pemeluk Shinto untuk mendatangi kuil dan juga tidak ada keharusan untuk berdoa atau sembahyang di dalamnya dan dilain pihak mereka juga bisa bebas memasuki atau bahkan berdoa di tempat agama lain tanpa hambatan karena Shinto sendiri tidak memiliki ajaran untuk mengharuskan ataupun melarang hal itu. Hal ini sering dianggap sebagai salah satu kelebihan yang tidak dimiliki oleh ajaran agama baru.
Shinto Bukan Agama
Bagi orang Jepang sendiri Shinto jelas bukanlah agama jadi wajar kalau kita tidak akan pernah mendengar ada orang Jepang yang mengaku beragama Shinto. Bahkan dalam kehidupan sehari hari dimasyarakat, kata Shinto nyaris tidak pernah dipergunakan. Mereka hanya mengenal kata "Jinja" yang artinya kuil (shrine) sebagai tempat untuk berdoa.
(*)