Oleh: Rangga Hardiansyah Putra. Mahasiswa universitas Andalas Padang
Riau adalah sinonim dari kelapa sawit. Sebagai salahG satu episentrum industri sawit nasional, provinsi ini menyumbang porsi signifikan terhadap produksi dan ekspor minyak sawit mentah (CPO) Indonesia. Namun, di balik angka-angka statistik yang impresif, Riau juga menjadi laboratorium bagi salah satu konflik sosial-ekologi paling kompleks di Indonesia.
Narasi pembangunan yang didorong oleh ekspansi perkebunan seringkali berbenturan dengan realitas di lapangan: konflik agraria, deforestasi, kebakaran hutan dan lahan (Karhutla), serta ketimpangan sosial. Dalam ruang yang penuh paradoks inilah, gerakan sosial (social movement) lahir dan bertransformasi.
Gerakan sosial di Riau bukan lagi sekadar reaksi spontan dan anarkis terhadap ekspansi sawit. Sebaliknya, mereka telah berevolusi menjadi aktor pengawas yang esensial, menggunakan strategi advokasi berbasis data dan hukum untuk mengisi kekosongan (vakum) dalam tata kelola dan penegakan hukum.
Konflik agraria antara korporasi (pemegang HGU) dan masyarakat lokal atau adat adalah bahan bakar utama. Tumpang-tindih perizinan, pengabaian hak ulayat, dan proses perolehan lahan yang tidak transparan menciptakan ketidakpuasan struktural.
Ditambah lagi, eksternalitas negatif seperti Karhutla yang asapnya tidak hanya melumpuhkan Riau tetapi juga negara tetangga menunjukkan adanya kegagalan sistemik dalam pengawasan dan pemberian sanksi.
Ketika mekanisme formal negara, seperti penegakan hukum atau mediasi konflik, dirasa lamban, tidak adil, atau bahkan berpihak pada kepentingan modal, masyarakat mencari jalan alternatif. Di sinilah gerakan sosial menemukan relevansinya.
Persepsi publik tentang gerakan sosial seringkali terbatas pada demonstrasi dan blokade jalan. Tentu, mobilisasi massa masih menjadi instrumen penting untuk menunjukkan kekuatan kolektif dan kemarahan publik. Namun, gerakan sosial di Riau telah menunjukkan pergeseran strategi yang signifikan.
Pertama adalah pergeseran dari advokasi berbasis massa ke advokasi berbasis pengetahuan (knowledge-based advocacy). Organisasi masyarakat sipil (CSO) seperti WALHI Riau atau Jikalahari tidak lagi hanya berteriak "tolak sawit".
Mereka kini berperang menggunakan data. Dengan teknologi Geographic Information System (GIS), pemantauan citra satelit, dan investigasi lapangan, mereka memetakan konsesi yang melanggar hukum misalnya, menanam di lahan gambut dalam atau di sempadan sungai dan membawanya ke ranah publik.
Kedua adalah evolusi ke jalur litigasi (hukum). Alih-alih hanya berdemo di depan kantor gubernur, gerakan ini secara sistematis menggugat perizinan yang cacat administrasi ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Mereka juga memanfaatkan mekanisme gugatan warga negara untuk menuntut pertanggungjawaban negara atas bencana asap. Ini adalah perubahan taktik dari "melawan" menjadi "mengoreksi" negara melalui instrumen hukumnya sendiri.
Ketiga adalah pemanfaatan tekanan rantai pasok global. Gerakan sosial di Riau kini terhubung dengan jaringan advokasi internasional.
Mereka menekan pembeli (buyer) di Eropa dan Amerika Serikat, serta badan sertifikasi seperti RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil), untuk meninjau atau menghentikan pembelian dari perusahaan yang terbukti melakukan pelanggaran.
Tekanan pasar global ini terbukti lebih menyakitkan bagi korporasi dibandingkan denda administratif semata.
Meski telah berevolusi, jalan gerakan ini masih terjal. Mereka berhadapan dengan asimetri kekuasaan yang luar biasa, melawan kekuatan oligarki yang mengakar. Risiko kriminalisasi terhadap aktivis dan pembela lingkungan adalah ancaman nyata, seringkali menggunakan instrumen hukum seperti UU ITE.
Selain itu, fragmentasi internal terkadang menjadi kelemahan. Gerakan mahasiswa, serikat petani, dan masyarakat adat tidak selalu berjalan dalam satu komando yang solid.
Namun, satu hal yang jelas: gerakan sosial di Riau adalah komponen vital dalam demokrasi. Mereka adalah alarm peringatan dini terhadap kebijakan yang salah arah dan penyeimbang kekuatan korporasi yang dominan.
Oleh karena itu, Pemerintah baik pusat maupun daerah harus mengubah paradigmanya. Gerakan sosial seharusnya tidak dipandang sebagai musuh pembangunan atau penghambat investasi. Mereka adalah mitra kritis yang membawa data, fakta lapangan, dan aspirasi korban yang seringkali tak terdengar.
Membuka ruang dialog yang setara, mempercepat resolusi konflik agraria, dan yang terpenting, menunjukkan keberpihakan pada penegakan hukum adalah kunci untuk mendamaikan kepentingan ekonomi sawit dengan keadilan sosial dan kelestarian ekologi di Bumi Lancang Kuning.





























0 Comments