Oleh: Allya Febiola Mahasiswi Ilmu Politik Fisip Unand
Di Sumatera Barat, lapau lebih dari sekadar kedai kopi ia merupakan arena diskusi, tempat di mana gagasan bersinggungan dengan realitas sosial. Di lapau, berlangsung percakapan tentang harga pangan, kebijakan pemerintah, dan masa depan anak nagari. Namun, dunia telah bertransformasi. Diskusi yang dulunya terjadi di sudut lapau kini meluncur cepat ke ruang digital: ke ponsel, ke Instagram Story, hingga ke kolom komentar yang tak berbatas. Perubahan ini menandai babak baru dalam sejarah gerakan sosial di Minangkabau.
Dahulu, perlawanan dimulai dari tempat-tempat fisik yang dekat dengan masyarakat; kini, gerakan sosial menyala melalui notifikasi digital. Generasi muda Padang dan Sumatera Barat menggerakkan aksi melalui satu unggahan: menolak penggusuran tempat tinggal, memperjuangkan hak pendidikan, hingga melindungi lingkungan pesisir. Hashtag menjadi spanduk baru, dan retweet adalah tanda solidaritas.
Transformasi ini membawa semangat baru. Media sosial memberikan kekuatan pada suara rakyat biasa agar setara dengan kekuasaan. Tanpa perlu menjadi elite atau tokoh terkenal, siapa pun dapat berbicara. Ketika kemacetan di Padang semakin meresahkan, masyarakat melontarkan keluhan melalui unggahan dan diskusi daring, mendorong pemerintah untuk bertindak. Saat abrasi pantai mengancam kehidupan pesisir, komunitas lokal menyajikan bukti lapangan dan menggaet ribuan pendukung dalam sekejap. Ini adalah contoh demokrasi digital yang semakin menguat di ranah Minang.
Namun, pergeseran ruang publik ini membawa tantangan baru. Lautan informasi membuat suara yang paling nyaring belum tentu yang paling akurat. Gerakan sosial bisa melenceng jika fokus hanya pada viralitas, bukan pada perubahan yang kongkret. Tidak semua isu penting menjadi trending topic, dan tidak semua trending topic menghasilkan perubahan struktural. Aktivisme semu hanya sekadar klik dan komentar sering kali menutupi perjuangan yang memerlukan kerja keras di lapangan.
Meskipun demikian, menganggap digitalisasi sebagai ancaman adalah pandangan sempit. Justru, saat ini, lapau dan ruang digital perlu berkolaborasi. Aktivisme di media sosial harus terhubung dengan tindakan komunitas, advokasi kebijakan, serta gerakan yang memperjuangkan hak warga. Media digital menjadi jembatan bagi generasi baru untuk peduli dan berpartisipasi, sebelum akhirnya mereka terjun ke jalanan atau berorganisasi dalam komunitas.
Gerakan sosial di Sumatera Barat saat ini menunjukkan satu hal: anak muda tidak diam. Mereka memanfaatkan ruang baru untuk berbicara lantang tentang ketidakadilan. Kesadaran politik yang dulunya hanya terdengar di kampus dan organisasi kini berkembang tanpa batas geografis.
Dalam perspektif Minang, hidup bukan sekadar untuk diri sendiri. “Sakik sanang samo-samo,” pepatah ini mengingatkan kita. Solidaritas, sebagai nilai tradisional, kini menemukan tempat baru. Media sosial bukan hanya ruang hiburan; ia melanjutkan semangat kolektif yang telah mengakar di lapau.
Oleh karena itu, masa depan gerakan sosial di Padang dan Sumatera Barat tak bisa hanya bergantung pada layar ponsel. Kita harus membawa semangat solidaritas daring itu kembali ke lapau, ke kampung, dan ke ruang hidup warga. Biarkan percakapan digital menjadi pemicu, sementara tindakan nyata tetap menjadi tujuan akhir.
Di era lini massa ini, masyarakat Minang memiliki peluang untuk menunjukkan bahwa budaya diskusi kritis dan kepedulian terhadap sesama takkan pernah pudar ia hanya berevolusi. Dari lapau ke ruang digital, perjuangan terus berlanjut. Kini tinggal bagaimana kita memilih: menjadi penonton, atau terlibat dalam gerakan menuju perubahan.





























0 Comments