Oleh : Frans Tama Lodewix
Di tengah arus globalisasi yang membawa kemajuan teknologi dan akses informasi yang begitu luas, kita bisa melihat perubahan signifikan dalam cara generasi muda menggunakan bahasa. Bahasa Inggris, khususnya, semakin sering muncul sebagai pengganti Bahasa Indonesia dalam percakapan sehari-hari, baik secara langsung maupun di platform media sosial. Hal ini menimbulkan pertanyaan krusial: apakah ini menandai krisis identitas nasional, atau sekadar upaya mencari citra prestise melalui bahasa?
Bahasa, pada dasarnya, adalah fondasi penting bagi pembentukan identitas suatu bangsa. Di Indonesia, posisi Bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu telah diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945, tepatnya di Pasal 36 yang menyatakan bahwa "Bahasa negara ialah Bahasa Indonesia." Pasal ini bukan hanya simbol, tetapi juga mandat konstitusional yang menegaskan Bahasa Indonesia sebagai alat untuk menyatukan masyarakat dengan beragam budaya dan bahasa daerah. Oleh karena itu, menggunakan Bahasa Indonesia dengan baik bukan sekadar masalah komunikasi, melainkan juga tanggung jawab moral dan nasional.
Sayangnya, kenyataan di lapangan menunjukkan generasi muda mulai menggeser nilai-nilai tersebut. Daripada melihat Bahasa Indonesia sebagai sumber kebanggaan nasional, banyak dari mereka justru menganggap bahasa asing terutama Inggris sebagai tanda kecerdasan, kemodernan, dan status sosial. Kita sering melihat mereka mencampur Bahasa Indonesia dengan kata-kata asing dalam obrolan biasa, atau bahkan beralih sepenuhnya ke bahasa asing di dunia digital. Fenomena ini, yang dikenal sebagai code switching atau bahasa campur, sering dianggap lebih keren, trendy, atau profesional.
Meski dari satu sudut bisa dipahami sebagai adaptasi terhadap dunia global, di sisi lain ini menimbulkan kekhawatiran tentang pudarnya cinta terhadap bahasa ibu. Bahasa adalah cerminan diri, dan kehilangannya berarti kehilangan bagian dari identitas bangsa. Jika generasi muda tidak lagi menghargai Bahasa Indonesia, mereka mungkin tumbuh tanpa rasa kebangsaan yang mendalam. Jika dibiarkan, ini bisa melahirkan generasi yang merasa asing dengan budayanya sendiri.
Namun, perlu diingat bahwa penggunaan bahasa asing tidak selalu buruk. Menguasai bahasa internasional seperti Inggris adalah kebutuhan di era sekarang. Ini juga selaras dengan Pasal 28C ayat (1) UUD 1945, yang menyatakan: "Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia." Dalam hal ini, bahasa asing membantu mengakses pengetahuan dan memperluas pandangan global.
Meski begitu, hak untuk berkembang ini tidak boleh mengabaikan kewajiban konstitusional dan budaya terhadap bahasa nasional. Kita perlu mencari keseimbangan antara terbuka pada bahasa asing dan menjaga Bahasa Indonesia sebagai identitas. Pemerintah telah mengatur ini melalui Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan. Pasal 25 undang-undang itu menegaskan bahwa "Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam komunikasi resmi di lingkungan kerja pemerintah dan swasta," menunjukkan komitmen negara untuk mempertahankan posisinya di berbagai aspek kehidupan.
Ironisnya, di praktiknya, banyak institusi pendidikan, perusahaan, dan media justru lebih memilih bahasa asing dalam slogan, nama, atau komunikasi mereka. Ini sangat memengaruhi pandangan generasi muda, yang tumbuh di lingkungan di mana bahasa asing dianggap superior dan bergengsi, sementara Bahasa Indonesia dipandang sebagai yang kedua. Tanpa sadar, ini menciptakan ketimpangan simbolik yang bisa merusak kebanggaan nasional.
Krisis ini diperburuk oleh kurangnya teladan dari tokoh publik. Banyak influencer, selebriti, dan pejabat lebih suka menggunakan bahasa campur atau bahasa asing di media sosial. Ketika figur panutan generasi muda tidak konsisten dalam menggunakan Bahasa Indonesia yang baik, krisis identitas bahasa ini makin parah. Bahasa Indonesia seolah kehilangan otoritasnya sebagai bahasa yang mulia dan berdaulat.
Untuk mencegah ini, peran pendidikan sangat krusial. Kurikulum sekolah harus menanamkan nilai kebangsaan kuat, termasuk cinta pada Bahasa Indonesia. Pelajaran bahasa tidak boleh hanya tentang tata bahasa dan sastra, tapi juga makna filosofis dan ideologisnya. Guru perlu menjelaskan bahwa berbahasa Indonesia dengan benar bukan cuma aturan, melainkan penghormatan terhadap jati diri bangsa.
Media massa dan platform digital juga harus turut bertanggung jawab menciptakan lingkungan bahasa yang sehat. Konten seperti film, musik, dan berita sebaiknya menggunakan Bahasa Indonesia yang menarik dan mudah diterima generasi muda. Pemerintah, melalui Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, bisa memperkuat kampanye "Bangga Berbahasa Indonesia" dengan melibatkan kreator muda agar bahasa nasional tampil modern dan relevan.
Peran keluarga pun tak kalah penting. Penguatan identitas bahasa dimulai dari rumah. Jika orang tua lebih memilih bahasa asing dalam mendidik anak, Bahasa Indonesia sebagai bahasa utama akan makin terancam. Kita perlu membangun kebiasaan membaca sastra Indonesia, menulis dalam bahasa nasional, dan berdiskusi dengan baik sejak kecil. Dengan begitu, anak-anak akan tumbuh dengan cinta dan bangga pada bahasanya.
Sebagai langkah praktis untuk membantu generasi muda melestarikan nilai bahasa, ada beberapa saran. Pertama, tingkatkan kesadaran linguistik melalui pendidikan dan media bahwa Bahasa Indonesia bukan sekadar alat komunikasi, tapi simbol identitas dan persatuan. Kedua, bangun kebanggaan dengan menjadikan bahasa nasional bagian dari gaya hidup modern, seperti melalui seni, konten digital, dan budaya pop yang kreatif tanpa meninggalkan akar lokal. Ketiga, dorong tokoh publik dan influencer menjadi contoh dalam menggunakan Bahasa Indonesia yang sopan dan bermartabat di ruang publik. Keempat, dorong inovasi bahasa agar Bahasa Indonesia berkembang sesuai zaman, misalnya dengan menciptakan istilah baru yang kompetitif di bidang teknologi dan sains.
Dengan langkah-langkah ini, generasi muda bisa bersaing di dunia global sambil tetap kuat pada akar nasionalnya. Menguasai bahasa asing adalah kelebihan, tapi bangga pada Bahasa Indonesia adalah kehormatan. Seperti yang tertulis dalam Pembukaan UUD 1945, bangsa Indonesia berkomitmen mencerdaskan kehidupan bangsa dan menjaga bahasa nasional sebagai warisan mulia yang menyatukan keragaman adalah bagian dari kecerdasan itu.





























0 Comments