Ticker

6/recent/ticker-posts

Bahasa Gaul dan Pergeseran Nilai Sosial di Era Digital

Oleh: Haikal Fathurrahman, Mahasiswa Ilmu Komunikasi universitas Andalas

Menurut Gorys Keraf (1997), bahasa adalah alat komunikasi antaranggota masyarakat berupa simbol bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia. Bahasa merupakan cerminan dari masyarakatnya ia tumbuh, berubah, dan terus beradaptasi seiring dengan perkembangan zaman. Jika pada era 1990-an masyarakat lebih akrab dengan istilah gaul abis, kini generasi muda lebih mengenal kata seperti healing, vibes, atau gaskeun. Fenomena ini bukan sekadar tren linguistik, melainkan bentuk perubahan sosial dan budaya di kalangan generasi Z yang hidup di era serba digital.

Bahasa gaul, jika kita tinjau dalam konteks sosiologis, berfungsi sebagai simbol budaya dan alat komunikasi kelompok. Ia tidak hanya berfungsi sebagai sarana untuk menyampaikan makna, tetapi juga menunjukkan identitas sosial para penggunanya. Generasi muda menggunakan bahasa sebagai cara untuk menunjukkan identitas mereka sebagai masyarakat modern, terbuka, dan terhubung dengan dunia global. Setiap istilah yang mereka ciptakan menjadi tanda ekspresi diri sekaligus penegasan dari keanggotaan dalam kelompok sosial yang memahami konteks budaya digital.

Dalam ilmu sosial, bahasa merupakan bagian dari kebudayaan. Soerjono Soekanto (2013) menjelaskan bahwa kebudayaan terdiri atas nilai, norma, dan simbol yang dihasilkan masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Bahasa gaul dapat dipahami sebagai simbol budaya digital hasil dari interaksi sosial di dunia maya yang akhirnya memengaruhi cara berkomunikasi di dunia nyata. Ia menjadi sarana ekspresi, pengikat solidaritas, sekaligus pembeda identitas antargenerasi.

Teori identitas sosial yang dikemukakan Henri Tajfel (1974) membantu menjelaskan fenomena ini. Tajfel menyebut bahwa identitas sosial seseorang terbentuk melalui kesadarannya sebagai anggota kelompok tertentu. Bahasa kemudian berperan memperkuat rasa kebersamaan itu. Ketika generasi muda menggunakan istila-istilah gaup, mereka sesungguhnya sedang menegaskan identitas diri dalam kelompok yang memahami budaya global. Bahasa menjadi sebuah kode yang hanya dipahami oleh sesama pengguna, sekaligus alat untuk membangun rasa kebersamaan di tengah dunia yang serba cepat dan cair.

Namun, perubahan bahasa ini juga memiliki konsekuensi sosial. Munculnya istilah-istilah baru kerap menimbulkan jarak antara generasi muda dan generasi yang lebih tua. Mereka yang tidak memahami istilah tersebut bisa merasa terasing dari percakapan publik. Bahasa yang seharusnya berfungsi menyatukan justru dapat menjadi pembatas halus antarusia dan antarlingkungan sosial. Fenomena ini menunjukkan bahwa bahasa tidak hanya mencerminkan perubahan sosial, tetapi juga bisa memperkuat batas simbolik dalam masyarakat.

Meski demikian, penggunaan bahasa gaul tidak selalu bermakna negatif. Ia memperlihatkan kreativitas generasi muda dalam beradaptasi terhadap perubahan zaman. Di tengah derasnya arus globalisasi dan pengaruh budaya luar, generasi muda tidak sekadar menjadi peniru, melainkan pencipta makna baru. Mereka mampu memadukan unsur bahasa lokal, nasional, dan global untuk menyesuaikan diri dengan kebutuhan komunikasi yang lebih ekspresif dan cepat. Hal ini menunjukkan bahwa bahasa Indonesia tidak statis, melainkan hidup dan berkembang seiring dinamika masyarakatnya.

Jika kita lihat lebih jauh lagi, bahasa gaul juga menjadi cermin dari pergeseran nilai sosial. Istilah seperti healing menunjukkan perubahan orientasi dari pencapaian material menuju keseimbangan emosional dan kesehatan mental. Sementara kata gaskeun menggambarkan semangat spontan dan optimisme khas generasi muda. Di balik kesan santai dan ringan, tersimpan nilai-nilai baru yang sedang tumbuh seperti kebebasan berekspresi, kemandirian, serta keterbukaan terhadap perubahan dan keragaman.

Namun, pergeseran ini juga mengandung tantangan. Dalam budaya digital yang serba cepat, makna kata bisa bergeser dari nilai-nilai substansial menjadi sekadar simbol gaya hidup. Misalnya, kata healing yang awalnya bermakna penyembuhan diri, kini sering dipahami sebagai ajang rekreasi atau bahkan konsumsi. Fenomena ini memperlihatkan bagaimana nilai sosial yang melekat pada bahasa dapat berubah sesuai konteks sosial dan media yang membentuknya.

Bahasa gaul dengan demikian bukan sekadar permainan kata, tetapi potret dari dinamika masyarakat yang sedang bertransformasi. Ia merekam cara berpikir, berinteraksi, dan memaknai kehidupan dalam dunia digital. Tantangan bagi kita bukanlah menolak perubahan bahasa, melainkan memastikan agar kreativitas berbahasa tidak mengikis akar nilai dan identitas budaya nasional. Bahasa Indonesia harus tetap menjadi wadah utama yang mempersatukan, meski diwarnai oleh berbagai inovasi bahasa dari generasi muda.

Bahasa akan selalu berubah, sebagaimana masyarakat yang terus berkembang. Mungkin suatu saat istilah healing, vibes, atau gaskeun akan tergantikan oleh kata baru, tetapi semangatnya tetap sama manusia berusaha menyesuaikan diri dengan dunia yang terus bergerak. Dalam setiap kata gaul yang muncul, tersimpan jejak sejarah sosial dan nilai budaya zamannya. Bahasa gaul, dengan segala dinamikanya, adalah bukti bahwa generasi muda tidak hanya menyesuaikan diri dengan perubahan mereka juga menjadi agen yang menciptakan perubahan itu sendiri.

Post a Comment

0 Comments


SELAMAT DATANG DI SEMOGA ANDA PUAS