Penulis:Obral Chaniago
Tulisan ini saya bikin & tayang pada akun Facebook Obral Chaniago Chaniago, 12 Agustus 2025, atau 5 hari jelang Dirgahayu HUT Kemerdekaan RI 80 tahun ini.
Menurut saya menggunakan kosa kata "korupsi" untuk gabungan kalimat maha tinggi. Kosa kata korupsi paling terbawah itu adalah Pungutan Liar (Pungli) versi maling, dan ada pula versi Pungli (Pungutan Lillahi Taala) berdasarkan suka memberi dan suka menerima atas suka sama suka.
Pungli alias pungutan Liar adalah Pungutan "suka paksa" dari pada borok terungkap malah jadi terungkap.
Praktek korupsi bisa terungkap bila ada rival! Atau lawan politik ? Tanpa adanya lawan politik praktek korupsi tidak akan pernah terungkap.
Membangun mobilitas rival atau lawan politik perlu kekuatan rival minimalnya sebanding jikalau tak bisa lebih dari sebanding.
Kekuatan tertinggi dalam korporasi adalah politik, bukan hukum. Mengendalikan hukum adalah politik yang punya kekuatan politik untuk mengendalikan hukum.
Lawan korupsi hanya pemanis kata dibibir. Stop korupsi hanya hiasan di ruang loby kantor pemerintah.
Slogan lawan dan stop korupsi itu merupakan sebuah bacaan yang terpampang di spanduk berwarna-warni.
Kosa kata tak punya mata dan telinga. Kalimat slogan dan ajakan, bukan seperti mesin yang berputar bisa bergerak dengan Bahan Bakar Minyak (BBM) atau energi yang dibangkitkan oleh Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) memutar roda turbin, atau Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU), Pembangkit Listrik Tenaga Generator (PLTG), atau juga energi panas bumi.
Slogan lawan dan stop korupsi memerlukan kekuatan politik. Bila tak ada lawan politik dalam satu korporasi tersebut, sebaiknya hapus kosa kata lawan dan stop korupsi. Percuma lawan dan stop korupsi yang terpampang menggunakan biaya percetakan advertising atau hasil produksi digital printing.
Kekuatan penggerak korporasi itu adanya pada energi kolaborasi politik. Tanpa energi kolaborasi politik praktek korupsi takkan pernah terungkap.
Kecenderungannya terungkap praktek korupsi bila kolaborasi kekuatan politik tersebut sedang tidak berkuasa lagi. Saat berkuasa maka "mimpi" praktek korupsi bisa terungkap.
Energi terbesar memberantas praktek korupsi berada pada kolaborasi korporasi pemenang dalam kancah percaturan politik. Bila kolaborasi pemenang tak mau mengungkap praktek korupsi - justru praktek korupsi dalam tahun berjalan akan terkesan seperti program padat sosial, tunjangan & padat kegiatan.
Seperti kepala daerah setingkat bupati, walikota, gubernur & kepala negara pun apabila tidak ada lawan politik - praktek korupsi siapa yang sanggup mengungkap ?
Rakyat, bukan! Wartawan, bukan! Lembaga Sosial Masyarakat (LSM), bukan! Korporasi bentukan politisi pemerintah pemenang yang akan mampu memberantas praktek-praktek korupsi tersebut.
Seyogianya, kolaborasi korporasi pemenang tak mau mengungkap praktek korupsi - takkan akan ada jaminan "keamanan" bagi orang atau kelompok yang berani pasang "badan" untuk mengungkap praktek korupsi.
Sebab, Republik ini punya jenjang dan tingkatan. Diatas langit ada lagi langit. Diatas tanah ada lagi tanah. Dibalik awan ada lagi awan mendung yang lebih hitam & di balik pandan ada lagi pandan yang berdiri pandan.
Semisalnya, ini! Lalu, siapa yang akan mampu memberantas praktek korupsi ?
Membumi hanguskan praktek korupsi tidak cukup dengan slogan lawan & stop korupsi dengan tanda gambar 5 jari terkembang!
Saya pertama membaca lawan & stop korupsi jadi terkekeh sendiri. Sepertinya pencipta slogan tersebut barangkali orang yang suka tidur malam terlambat - bangunnya di sore hari.
Coba! Pencetus lawan & stop korupsi suka bangun subuh dan tidur malam saat mata mulai ngantuk tak bakalan dia bikin slogan lawan dan stop korupsi.
Untuk memerangi & membumi hanguskan praktek korupsi memerlukan kekuatan kolaborasi korporasi politisi Partai Politik (Parpol) pengusung dan pendukung pemenang seirama & senada - barulah praktek korupsi bisa mulai berkurang. Karena nakhoda dari praktek korupsi itu adanya pada korporasi kolaborasi Parpol pengusung dan pendukung pemenang.
Tak perlu jauh-jauh belajar ilmu sosial dan politik soal analisa dan logika memberantas dan praktek maen korupsi. Keduanya, ada pada kekuatan pemenang kolaborasi Parpol pengusung & pendukung baik daerah maupun pusat.
Apabila kepala daerah masuk bui penjara baik sedang menjabat, purna dan pasca menjabat sebagai pertanda yang masuk bui penjara itu punya lawan politik dengan kekuatan politisi sedang berkuasa ada dibelakang rivalnya!
Bicara "lawan" politik justru memberantas praktek korupsi tak mempan dengan slogan "lawan dan stop" korupsi.
Bicara soal "lawan politik" adalah ngomong tinggi. Bicara maling adalah ngomong tingkat bawah. Bicara praktek korupsi memerlukan kekuatan politik tingkat tinggi vs lawan politik - praktek korupsi baru bisa berkurang.
Pada intinya, praktek korupsi bisa terungkap bila ada rival! Merdeka, hidup atau mati korupsi ?
Penulis:Obral Chaniago (wartawan)





























0 Comments