Aceh Timur, 2 Agustus 2025 — Laskar Anti Korupsi Indonesia (LAKI) Kabupaten Aceh Timur menyampaikan kritik keras terhadap kinerja Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Aceh Timur terkait pelaksanaan proyek pengadaan dan rehabilitasi sarana pendidikan tahun anggaran 2024 dan 2025. Ketua LAKI, Saiful Anwar, menilai banyak kegiatan yang diduga disusun dengan skema manipulatif untuk menghindari mekanisme lelang terbuka dan menyiasati pengawasan anggaran publik.
Saiful menyoroti proyek rehabilitasi Ruang IPA dan Tata Usaha di SMP Negeri 1 Peudawa yang masing-masing menelan dana Rp300 juta dan Rp173,8 juta, bersumber dari Dana Alokasi Khusus (DAK) Tahun 2024. Dalam papan proyek tertulis bahwa kegiatan bersifat rehabilitasi dengan tingkat kerusakan minimal sedang. Namun, hasil penelusuran LAKI di lapangan menunjukkan fakta yang kontras.
“Ini bukan lagi rehab sedang. Atap dibongkar total, rangka baja ringan baru dipasang, beton dan dinding sebagian besar diganti. Ini pembangunan baru yang disamarkan sebagai rehab ringan,” kata Saiful kepada wartawan, Sabtu (2/8).
LAKI mencurigai adanya penyiasatan klasifikasi teknis untuk menghindari proses tender terbuka yang diwajibkan pada proyek pembangunan fisik baru. Dengan menyebut proyek sebagai rehabilitasi, pelaksana cukup menunjuk penyedia jasa tanpa melalui persaingan yang wajar. Skema ini dinilai mengandung celah untuk praktik korupsi dan kolusi.
Kecurigaan serupa juga diarahkan pada pengadaan buku literasi senilai Rp200 juta yang tercatat dalam APBD 2025 untuk SD di Kecamatan Sungai Raya. Padahal, seluruh sekolah dasar dan menengah telah memperoleh anggaran pembelian buku melalui Dana BOS setiap tahun. “Ini patut dicurigai sebagai pengadaan ganda. Kalau BOS sudah membiayai buku, untuk apa lagi APBD menganggarkan? Apakah ini pemborosan atau proyek titipan?” ujar Saiful.
Data e-purchasing yang dikumpulkan LAKI juga menunjukkan lonjakan anggaran pengadaan mobiler (meja dan kursi) untuk sekolah dasar, menengah, dan taman kanak-kanak sepanjang Mei hingga Juli 2025. Tercatat belanja lebih dari Rp6,3 miliar hanya untuk pengadaan mebel kelas dan ruang guru, semuanya dijalankan dengan metode e-purchasing yang cenderung tertutup dan minim kontrol publik.
Saiful mengingatkan bahwa dalam banyak kasus sebelumnya, e-purchasing kerap menjadi saluran distribusi proyek bagi pihak tertentu yang sudah disiapkan sejak awal. “Kami tidak anti pembangunan. Tapi jika semua dilakukan seragam, cepat, dan nyaris tanpa transparansi, patut ditanya: untuk siapa anggaran ini sebenarnya?” katanya.
LAKI juga mengungkap temuan yang tak kalah mencengangkan: hilangnya seng dan kayu hasil bongkaran dari proyek-proyek rehabilitasi. Menurut pengamatan LAKI di lapangan, seluruh atap seng yang dibongkar dalam proyek rehab tidak pernah dicatat atau diserahkan ke sekolah penerima. “Seng-seng itu masih sangat layak pakai, tapi lenyap seperti ditelan bumi. Tidak ada berita acara, tidak ada pelelangan, tidak ada jejak,” kata Saiful. Ia menegaskan bahwa material bongkaran adalah bagian dari aset negara dan penghilangan tanpa prosedur dapat dikategorikan sebagai tindak pidana penggelapan aset publik.
LAKI Aceh Timur dalam waktu dekat akan menyerahkan laporan resmi ke Inspektorat Daerah serta membuka komunikasi dengan BPKP dan Kejaksaan Negeri Langsa. Jika diperlukan, pihaknya akan mendorong proses hukum agar akuntabilitas dan transparansi dalam belanja pendidikan ditegakkan.
“Kami tidak sedang melempar isu. Kami menyampaikan data dan kejanggalan nyata. Pendidikan seharusnya menjadi ruang pembangunan karakter, bukan lahan memperkaya oknum birokrat dan kontraktor,” tutup Saiful.
Hingga berita ini diterbitkan, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Aceh Timur belum memberikan klarifikasi atas berbagai sorotan dan temuan tersebut.
0 Comments