Ticker

6/recent/ticker-posts

Pentingnya Lingkungan yang Mendukung dalam Novel Totto-chan: Gadis Cilik di Jendela Karya Tetsuko Kuroyanagi Menggunakan Teori Psikologi Sastra Sigmund Freud


Oleh Zulfikar Habibullah mahasiswa Sastra Jepang Universitas Andalas Padang 



Abstract:

Totto-chan: The Little Girl at the Window, a novel by Tetsuko Kuroyanagi, illustrates the critical role of a supportive environment in a child's development. This essay explores how the protagonist, Totto-chan, undergoes positive psychological transformation due to the nurturing and understanding environment of Tomoe Gakuen. By applying Sigmund Freud’s psychoanalytic theory, which emphasizes the importance of childhood experiences in shaping personality, this analysis highlights how Totto-chan’s character is molded not through discipline or correction, but through empathy and acceptance. The essay also references previous psychological and educational research to reinforce the argument that a child’s personality development heavily depends on the quality of their environment.

Keywords: psychoanalytic theory, childhood, supportive environment, personality development, Sigmund Freud, Totto-chan

1. Pendahuluan

Masa kanak-kanak merupakan fase kritis dalam kehidupan manusia. Pengalaman yang terjadi di fase ini dapat memberikan dampak jangka panjang terhadap pembentukan kepribadian dan kesehatan mental individu. Sigmund Freud, dalam teori psikoanalisisnya, menekankan bahwa masa kecil adalah fondasi utama dari struktur kepribadian seseorang. Menurut Freud (1923), kepribadian manusia terdiri dari tiga komponen: id, ego, dan superego, yang mulai berkembang secara aktif sejak masa anak-anak melalui interaksi dengan lingkungan sekitarnya.

Dalam konteks ini, lingkungan yang mendukung dan memahami kebutuhan emosional anak sangat berperan dalam membentuk ego yang sehat dan menyeimbangkan dorongan-dorongan id dengan nilai-nilai superego. Sebaliknya, lingkungan yang represif atau tidak mendukung cenderung mendorong anak menekan perasaan dan dorongan alaminya, yang menurut Freud dapat menyebabkan gangguan psikologis di kemudian hari (Freud, The Ego and the Id, 1923).

Novel Totto-chan: Gadis Cilik di Jendela karya Tetsuko Kuroyanagi adalah potret nyata dari teori Freud tersebut. Totto-chan adalah seorang anak yang memiliki rasa ingin tahu tinggi, energik, dan ekspresif. Di sekolah pertamanya, ia dicap sebagai “nakal” dan akhirnya dikeluarkan. Namun, di sekolah Tomoe Gakuen, ia diterima dan diberi kebebasan untuk menjadi dirinya sendiri. Sekolah ini, yang dipimpin oleh Kepala Sekolah Kobayashi, menawarkan pendekatan pendidikan yang inklusif, empatik, dan penuh pengertian.

Penelitian sebelumnya oleh Carl Rogers (1961) menyatakan bahwa seorang anak hanya dapat berkembang secara optimal jika mereka dibesarkan dalam lingkungan dengan penerimaan tanpa syarat (unconditional positive regard). Hal ini diperkuat oleh Erik Erikson dalam teorinya mengenai tahap perkembangan psikososial, yang menyebutkan bahwa pada masa anak-anak, dukungan lingkungan sangat berpengaruh terhadap rasa percaya diri dan identitas sosial (Erikson, 1959).

Dengan mengaitkan teori Freud dan temuan para psikolog lain dengan isi novel, esai ini akan menganalisis secara mendalam bagaimana lingkungan Tomoe Gakuen menjadi penentu perkembangan psikologis Totto-chan.

2. Pembahasan

2.1 Struktur Psikologis Anak Menurut Freud dan Relevansinya dengan Tokoh Totto-chan

Freud menjelaskan bahwa kepribadian manusia terbentuk dari interaksi antara id (dorongan dan keinginan alamiah), ego (penyesuaian terhadap realitas), dan superego (nilai moral yang dipelajari dari lingkungan). Pada masa anak-anak, struktur ini mulai berkembang secara aktif dan sangat bergantung pada pola asuh serta pengalaman sosial yang dialami.

Totto-chan dalam novel memperlihatkan dominasi karakteristik id—ia spontan, ingin tahu, dan penuh energi. Saat ia membuka dan menutup meja sekolahnya berkali-kali karena kagum dengan bentuknya, sekolah lamanya menilainya sebagai perilaku yang tidak pantas. Namun, Freud (1923) menyatakan bahwa mengekspresikan dorongan alamiah bukanlah hal yang salah; justru represi yang dilakukan lingkungan secara keras dapat menimbulkan tekanan psikologis.

Sebaliknya, di Tomoe Gakuen, Totto-chan diterima dan diberi ruang untuk menjadi dirinya sendiri. Kepala Sekolah Kobayashi tidak memarahi, melainkan mendengarkan dan memaklumi. Seperti kutipan berikut:

“Kepala sekolah tidak pernah memarahi Totto-chan. Ia hanya mendengarkan dengan saksama.” (Kuroyanagi, 1981)

Penerimaan ini menjadi landasan bagi terbentuknya ego yang sehat. Anak tidak ditekan, melainkan diarahkan untuk memahami batas dan menyalurkan energinya secara positif.

2.2 Tomoe Gakuen sebagai Representasi Lingkungan Psikologis yang Mendukung

Tomoe Gakuen digambarkan sebagai sekolah yang sangat menghargai kebebasan berekspresi dan individualitas. Di sekolah ini, anak-anak bebas memilih pelajaran pertama yang mereka sukai, belajar di gerbong kereta bekas, dan membawa bekal makan siang dengan aturan sederhana: “Sesuatu dari laut dan sesuatu dari darat.” Semuanya dirancang untuk menciptakan suasana belajar yang nyaman secara emosional.

Kepala Sekolah Kobayashi selalu memberikan semangat kepada anak-anak untuk berpikir, bertanya, dan bereksplorasi.

“Tak apa bertanya. Itu artinya kau sedang berpikir.” (Kuroyanagi, 1981)

Ini menunjukkan bahwa ia tidak hanya menciptakan rasa aman, tetapi juga mendorong anak-anak mengembangkan potensi kognitif dan emosionalnya secara alami. Dalam teori Maslow (1943), rasa aman dan penerimaan adalah kebutuhan dasar yang harus dipenuhi sebelum seseorang mampu mencapai aktualisasi diri.

Riset dari Rutter et al. (1979) menegaskan bahwa sekolah yang menyediakan dukungan emosional mampu menurunkan risiko gangguan perilaku dan meningkatkan kesejahteraan psikologis siswa. Di Tomoe, anak-anak tidak hanya belajar ilmu pengetahuan, tetapi juga diajarkan nilai-nilai hidup seperti kerja sama, empati, dan kejujuran.

2.3 Transformasi Psikologis Totto-chan dan Bukti Perkembangan Ego yang Sehat

Setelah berada beberapa waktu di Tomoe Gakuen, perubahan positif terlihat jelas dalam diri Totto-chan. Ia menjadi lebih percaya diri, lebih peka terhadap perasaan orang lain, dan mampu memahami perbedaan. Salah satu contoh paling menyentuh adalah ketika ia menjalin persahabatan dengan Yasuaki-chan, anak laki-laki penyandang disabilitas.

Alih-alih merasa aneh atau menghindar, Totto-chan menerima perbedaan itu dengan tulus.

“Totto-chan merasa itu adalah ide yang luar biasa bahwa seseorang bisa mandi sambil tetap memakai penyangga kakinya.” (Kuroyanagi, 1981)

Respons ini menunjukkan bahwa Totto-chan telah mengembangkan superego yang sehat—bukan karena tekanan sosial, melainkan karena pengalamannya berada di lingkungan yang penuh empati.

Freud menyatakan bahwa perkembangan superego yang sehat terbentuk dari internalisasi nilai-nilai moral yang dialami melalui hubungan yang hangat dan penuh kasih, bukan dari rasa takut akan hukuman. Totto-chan telah menunjukkan bahwa dengan bimbingan yang tepat, kepribadian anak bisa tumbuh seimbang: id diarahkan, ego dikembangkan, dan superego dibentuk secara positif.

3. Penutup:

Melalui novel Totto-chan: Gadis Cilik di Jendela, Tetsuko Kuroyanagi tidak hanya menceritakan kisah masa kecilnya, tetapi juga menghadirkan refleksi mendalam tentang pentingnya lingkungan yang mendukung dalam perkembangan psikologis anak. Berdasarkan teori Freud, kepribadian anak sangat ditentukan oleh bagaimana mereka diperlakukan dan dibimbing pada masa awal kehidupan mereka.

Tomoe Gakuen membuktikan bahwa pendekatan yang lembut, inklusif, dan memanusiakan anak justru mampu menumbuhkan potensi yang tidak terlihat dalam sistem pendidikan konvensional. Dengan memadukan teori Freud dan temuan psikologi modern, esai ini menegaskan bahwa membentuk kepribadian anak bukan soal mendisiplinkan mereka, tetapi soal menciptakan lingkungan yang memungkinkan mereka tumbuh secara utuh—sebagai manusia.




Daftar Pustaka:

Freud, S. (1923). The Ego and the Id. London: Hogarth Press.

Kuroyanagi, T. (1981). Totto-chan: The Little Girl at the Window. Tokyo: Kodansha.

Rogers, C. (1961). On Becoming a Person. Boston: Houghton Mifflin.

Erikson, E. H. (1959). Identity and the Life Cycle. New York: International Universities Press.

Maslow, A. H. (1943). A Theory of Human Motivation. Psychological Review, 50(4), 370–396.

Rutter, M., Maughan, B., Mortimore, P., & Ouston, J. (1979). Fifteen Thousand Hours: Secondary Schools and Their Effects on Children. London: Open Books.


Post a Comment

0 Comments


SELAMAT DATANG DI SEMOGA ANDA PUAS