Ticker

6/recent/ticker-posts

Kehilangan, Identitas, dan Kekuasaan dalam The Memory Police

 


Oleh ; Mela Oktarisa mahasiswa sastra Jepang Universitas Andalas Padang 



1. Pendahuluan

Novel The Memory Police karya Yoko Ogawa adalah karya fiksi distopia yang menghadirkan refleksi mendalam tentang ingatan, identitas, dan kekuasaan. Diterbitkan pertama kali di Jepang pada tahun 1994 dan diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Stephen Snyder pada 2019, novel ini menyajikan narasi yang puitis namun menekan, menggambarkan masyarakat di sebuah pulau tanpa nama di mana objek-objek, konsep, dan bahkan perasaan tertentu secara misterius "menghilang" dari kehidupan penduduknya. Ketika sesuatu "menghilang", penduduk tidak hanya berhenti menggunakannya, tetapi juga benar-benar melupakan keberadaannya. Mengawasi proses ini adalah "Memory Police", pasukan represif yang memastikan semua yang hilang benar-benar terlupakan.

Dalam novel ini, Ogawa tidak hanya menciptakan sebuah dunia yang surreal, tetapi juga menyampaikan kritik terhadap kekuasaan yang menekan kebebasan berpikir dan mengontrol narasi sejarah. Lewat sudut pandang tokoh utama—seorang penulis wanita yang berusaha menyembunyikan editornya yang masih mengingat segala sesuatu—pembaca diajak untuk merenungkan makna eksistensi, fungsi memori, dan bagaimana kekuasaan memanipulasi realitas. Esai ini akan membahas struktur naratif, simbolisme, serta pesan filosofis dalam The Memory Police, sekaligus melihat bagaimana karya ini relevan dengan dinamika sosial-politik masa kini.

2. Isi

A. Dunia yang Hilang: Mekanisme Pelupaan dan Kekuasaan

Salah satu aspek paling mencolok dari The Memory Police adalah penggambaran dunia yang perlahan-lahan kehilangan makna karena hilangnya berbagai benda dan konsep. Proses "penghilangan" ini bukan sekadar bentuk pelarangan, melainkan penghapusan kolektif dari kesadaran masyarakat. Contohnya, ketika burung-burung "menghilang", orang-orang tidak hanya berhenti melihat atau memelihara burung, tetapi benar-benar tidak bisa lagi mengingat seperti apa burung itu.

Di balik fenomena tersebut, Memory Police berperan sebagai aparat yang memastikan tidak ada "penyimpangan". Mereka memburu orang-orang yang masih bisa mengingat—yang disebut memiliki "kemampuan berbahaya"—dan mendeportasi atau menghilangkan mereka. Kekuasaan Memory Police mencerminkan bentuk otoritarianisme yang ekstrem, di mana negara tidak hanya mengontrol tindakan warganya, tetapi juga pikiran dan ingatan mereka. 

Hal ini menggambarkan bagaimana sebuah rezim totaliter bisa membentuk kebenaran baru melalui penghapusan masa lalu.

B. Tokoh Utama dan Narasi Ganda

Tokoh utama dalam novel ini adalah seorang penulis wanita tanpa nama yang mencoba mempertahankan ingatan dan kemanusiaannya di tengah dunia yang memudar. Ia berusaha melindungi editornya, R, yang masih memiliki kemampuan untuk mengingat, dengan menyembunyikannya di ruang rahasia di rumahnya. Dalam hubungannya dengan R, kita melihat perjuangan untuk mempertahankan ingatan sebagai bentuk perlawanan.

Menariknya, Ogawa menyisipkan narasi sekunder berupa novel yang sedang ditulis oleh tokoh utama. Dalam cerita itu, seorang wanita kehilangan suaranya dan dikurung oleh instruktur mesin ketik. Cerita dalam cerita ini mencerminkan realitas di luar cerita, menunjukkan efek psikologis dari represi dan bagaimana kreativitas menjadi ruang resistensi. Melalui teknik ini, Ogawa menggambarkan bagaimana sastra menjadi alat untuk mempertahankan kemanusiaan di tengah kehancuran.

C. Simbolisme dalam Penghilangan

Setiap "penghilangan" dalam novel sarat makna simbolis. Misalnya, hilangnya jam tangan bisa ditafsirkan sebagai lenyapnya konsep waktu, yang berarti hilangnya kesadaran akan sejarah dan masa depan. Hilangnya burung bisa diartikan sebagai sirnanya kebebasan, dan hilangnya parfum adalah penghapusan identitas dan kenangan personal. Semua ini menunjukkan bahwa pelupaan bukanlah sesuatu yang netral, melainkan sebuah bentuk kekerasan epistemik yang menghancurkan hubungan manusia dengan dunia dan dirinya sendiri.

Simbolisme ini diperkuat oleh narasi yang tenang namun mengerikan. Ogawa tidak menggunakan deskripsi yang eksplisit brutal, tetapi justru lewat deskripsi yang lembut dan puitis, ia menciptakan atmosfer yang menyesakkan. Kekerasan dalam novel ini bersifat sunyi, namun terasa mendalam dan menghantui.

D. Kritik Sosial dan Relevansi Kontemporer

Meskipun berlatar di dunia fiksi, The Memory Police membawa pesan yang sangat relevan dengan kondisi sosial-politik kontemporer. Dalam era disinformasi, sensor, dan manipulasi media, novel ini menjadi alegori tentang bagaimana kebenaran bisa dikonstruksi ulang oleh pihak berkuasa. Fenomena penghilangan sejarah atau pelurusan narasi oleh negara otoriter adalah kenyataan yang masih terjadi di banyak tempat di dunia.

Lebih jauh, novel ini juga menggambarkan bagaimana masyarakat bisa menjadi apatis dan menerima pelupaan sebagai bagian dari kehidupan. Karakter-karakter dalam novel jarang mempertanyakan mengapa penghilangan terjadi. Mereka hanya mengikuti arus, menunjukkan bagaimana dominasi ideologis bekerja: bukan hanya dengan paksaan, tetapi melalui normalisasi. Ini menjadi refleksi tentang pentingnya kesadaran kritis dan peran individu dalam mempertahankan kebenaran.

3. Kesimpulan

The Memory Police bukan sekadar novel fiksi ilmiah atau distopia, tetapi sebuah karya sastra yang menghadirkan renungan mendalam tentang memori, kekuasaan, dan identitas. Yoko Ogawa, dengan gaya penulisan yang lembut namun menusuk, berhasil menggambarkan dunia yang secara perlahan kehilangan makna dan kemanusiaan. Dalam dunia tersebut, ingatan menjadi bentuk terakhir dari perlawanan, dan menulis menjadi cara untuk menjaga agar manusia tetap manusia.

Melalui tokoh-tokohnya, simbolisme, dan dunia yang dibangunnya, Ogawa memperingatkan pembaca akan bahaya penghapusan sejarah dan kontrol narasi oleh pihak berkuasa. Novel ini mengajarkan bahwa mempertahankan ingatan—baik pribadi maupun kolektif—adalah tindakan yang politis dan mendalam. Dalam masyarakat yang terus berubah dan sering kali dilanda manipulasi informasi, The Memory Police menjadi panggilan untuk tidak melupakan, untuk terus mengingat, dan untuk menolak tunduk pada kekuasaan yang ingin menghapus kemanusiaan kita.

Post a Comment

0 Comments


SELAMAT DATANG DI SEMOGA ANDA PUAS