Oleh: M. Syafiq Husein
Pernah ngobrol seru sama AI kayak ChatGPT, lalu merasa kok dia kayak tahu segalanya? Mulai dari minat kamu, gaya bahasa kamu, sampai hal-hal yang kamu sendiri belum tentu sadar. Di balik semua kecanggihan itu, ada satu pertanyaan besar yang layak kita renungkan: ke mana semua data yang kamu bagikan itu pergi? Dan, apakah benar-benar aman?
Di era digital saat ini, kecerdasan buatan (AI) sudah jadi bagian dari keseharian. Ia bukan cuma alat bantu, tapi juga teman ngobrol, penasihat, bahkan asisten kerja. Tapi seperti teman baru yang belum kita kenal betul, AI juga menyimpan risiko—khususnya soal privasi dan keamanan data pribadi.
Di Balik Kecanggihan AI, Ada Data yang Kita Berikan
AI bekerja dengan cara “belajar” dari data. Semakin sering kamu berinteraksi dengannya, semakin besar kemampuannya memahami konteks, preferensi, hingga emosi. Tapi yang jarang dibahas adalah: data yang kamu berikan saat ngobrol atau menggunakan AI itu disimpan di mana, untuk apa, dan oleh siapa?
Banyak perusahaan AI menggunakan data pengguna untuk melatih sistem mereka agar jadi lebih pintar. Kadang tanpa persetujuan yang jelas, dan sering kali tanpa pemahaman utuh dari penggunanya sendiri.
Beberapa Kasus Serius yang Pernah Terjadi
1. Kebocoran ChatGPT (2023)
Pada Maret 2023, sejumlah pengguna ChatGPT melaporkan bahwa mereka bisa melihat histori percakapan pengguna lain karena bug sistem. Meskipun diperbaiki cepat, kejadian ini menunjukkan bahwa data yang kita anggap privat bisa saja terekspos secara tidak sengaja.
2. Wajah untuk Deepfake
Banyak foto dari media sosial digunakan tanpa izin untuk melatih sistem deepfake—hasilnya berupa video palsu yang tampak sangat realistis. Wajah orang bisa dimanipulasi, dipalsukan, bahkan digunakan untuk konten tak senonoh.
3. Aplikasi Peniru Suara
Beberapa aplikasi AI sekarang bisa meniru suara seseorang hanya dari beberapa detik rekaman. Bayangkan kalau suaramu digunakan untuk menipu kerabatmu sendiri lewat panggilan palsu?
Apa Saja Risikonya?
• Penyalahgunaan Identitas Digital
Nama, foto, atau bahkan suara bisa dipakai untuk penipuan, hoaks, atau manipulasi informasi.
• Kebocoran Data Sensitif
Data pribadi seperti alamat, tempat kerja, isi percakapan, bahkan preferensi politik bisa jadi incaran pihak yang tidak bertanggung jawab.
• Minimnya Regulasi yang Kuat
Di Indonesia, Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) baru disahkan pada 2022 dan masih dalam proses implementasi. Belum ada ketentuan spesifik yang mengatur pemrosesan data oleh AI secara rinci.
Menurut laporan IBM Cost of a Data Breach 2023, rata-rata kerugian akibat kebocoran data secara global mencapai USD 4,45 juta per insiden. Ini jadi pengingat keras bahwa data adalah aset, bukan sekadar jejak digital.
Apa yang Bisa Kita Lakukan?
1. Baca Kebijakan Privasi
Jangan asal klik “I Agree.” Luangkan waktu untuk memahami data apa yang diambil dan bagaimana digunakan.
2. Hindari Berbagi Informasi Sensitif
Jangan sampaikan hal-hal seperti nomor KTP, data keuangan, atau informasi rahasia melalui platform AI, meskipun terlihat “privat”.
3. Gunakan Aplikasi yang Kredibel
Cek reputasi aplikasi AI yang kamu gunakan. Lihat siapa pengembangnya, dan bagaimana ulasan dari pengguna lain.
4. Dukung Regulasi yang Lebih Kuat
Suara publik penting untuk mendorong pemerintah membuat dan menegakkan aturan perlindungan data digital yang relevan dengan perkembangan AI.
Refleksi Nilai-Nilai Pancasila dalam Penggunaan AI yang Bertanggung Jawab
Dalam konteks Pancasila, isu privasi dan keamanan data bukan hanya soal teknologi, tapi juga menyentuh nilai-nilai dasar kehidupan berbangsa dan bernegara. Beberapa sila yang relevan antara lain:
1. Sila Kedua – Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
Perlindungan data pribadi merupakan bagian dari menghormati martabat manusia. Ketika data seseorang disalahgunakan, maka hak asasinya telah dilanggar. Penggunaan AI harus berlandaskan pada prinsip kemanusiaan yang menghargai privasi dan integritas individu.
2. Sila Kelima – Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Ketimpangan dalam akses informasi atau pemanfaatan teknologi (termasuk AI) bisa menimbulkan ketidakadilan digital. Oleh karena itu, perlu ada regulasi dan kebijakan yang melindungi semua warga negara dari penyalahgunaan teknologi, bukan hanya kelompok tertentu yang paham hukum atau teknologi.
3. Sila Keempat – Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan
Partisipasi masyarakat dalam menyuarakan pentingnya perlindungan data, serta pengawasan terhadap lembaga atau perusahaan yang menggunakan AI, adalah wujud demokrasi digital. Masyarakat berhak tahu dan menentukan bagaimana data mereka diproses.
Kesimpulan Penutup (diperkuat):Maka dari itu, menjaga privasi dan mengawal penggunaan AI secara etis bukan hanya isu teknologi, tapi juga perwujudan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan digital. Bijak dalam menggunakan teknologi adalah cerminan dari warga negara yang berkeadaban, adil, dan bertanggung jawab.
Penutup: Cerdas Gunakan AI, Bijak Jaga Privasi
AI memang memudahkan banyak aspek kehidupan. Tapi, kenyamanan jangan sampai membuat kita lengah. Di balik setiap kemudahan, ada konsekuensi yang harus kita waspadai—dan data pribadi adalah salah satunya.
Kalau bukan kita yang peduli dengan privasi kita sendiri, siapa lagi?
0 Comments