Oleh : Arifah Dzakiyah, mahasiswi Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Andalas, Padang, Sumatera Barat
Beberapa waktu lalu, publik kembali dikejutkan oleh berita banyaknya terpidana korupsi yang sudah menjalani hukuman, masih bisa hidup mewah setelah bebas. Ini bukan kejadian pertama kali.
Kita sudah sering melihat para pelaku korupsi dijatuhi hukuman, tapi negara terlihat gagal untuk mengembalikan kerugian yang mereka timbulkan. Kebebasannya memang dicabut, tapi kekayaan yang didapat secara tidak sah tetap saja tak tersentuh.
Masalah ini bukan hanya soal lemahnya penegakan hukum, tetapi juga soal ada yang salah dalam sistem keadilan kita. Untuk bisa benar-benar menang melawan korupsi, Indonesia butuh strategi yang lebih dari sekadar menghukum pelaku, tapi juga menelusuri dan mengambil kembali hasil kejahatan mereka. Di sinilah pentingnya Undang-Undang Perampasan Aset (UU-PA) yang seharusnya bisa jadi alat untuk memulihkan keadilan dan mengembalikan hak rakyat yang sudah dirampas oleh para koruptor itu.
Namun sayangnya, hingga kini, RUU Perampasan Aset masih jauh dari perhatian serius di parlemen. Padahal, pembahasan mengenai perampasan aset ini sudah muncul sejak 2008, dan sudah berkali-kali tertunda tanpa alasan yang jelas.
Sekarang, RUU tersebut bahkan tidak tercantum dalam daftar Prolegnas Prioritas 2025. Ini jelas memberi gambaran yang cukup mengkhawatirkan dan memunculkan sebuah pertanyaan besar: Apakah pemberantasan korupsi masih jadi prioritas utama negara kita?
Mengapa UU Perampasan Aset Begitu Penting?
Dari banyaknya pelanggaran hukum yang ada, korupsi bukan hanya sekadar pelanggaran hukum biasa tetapi menjadi salah satu kejahatan yang luar biasa. Korupsi dapat menghancurkan sistem, merusak kepercayaan publik terhadap pemerintah dan institusi, serta dapat menjatuhkan tata kelola. Saat seorang melakukan tindakan korupsi dan menyalahgunakan kekuasaan untuk memperkaya diri, yang berdampak akan hal ini adalah rakyat kecil.
Dari hal ini, mereka harus merasakan mengantre di puskesmas berjam-jam yang kehabisan obat, anak-anak harus belajar di kelas yang hampir runtuh, ataupun petani yang tidak pernah menerima subsidi karena anggaran yang disalahgunakan.
Sayangnya, dalam penegakan hukum, hanya berfokus pada penahanan dan masih terlalu terpusat di sana.
Pelaku dipenjarakan, ya. Tapi bagaimana dengan kekayaan yang diperoleh dari pelanggaran tersebut? Seringkali, aset-aset ini telah secara tidak dapat dijelaskan beralih ke nama orang lain atau memang, dipindahkan ke luar negeri. Kita memiliki Undang-Undang Korupsi dan Undang-Undang Pencucian Uang, tetapi dalam realitanya, proses penyitaan aset sering menghadapi berbagai hambatan teknis dan hukum.
Hal ini yang menyebabkan mengapa Undang-Undang Penyitaan Aset sangat penting. Inilah sebabnya mengapa Undang-Undang Penyitaan Aset sangat penting. RUU ini mengusulkan pendekatan yang lebih berani dengan penyitaan aset berbasis non-conviction based asset forfeiture (NCB). Melalui NCB, penyitaan aset bisa dilkukan tanpa perlu menunggu vonis pidana terlebih dahulu. Jika bisa dibuktikan bahwa suatu aset itu berasal dari aktivitas ilegal, negara bisa menyitanya melalui jalur perdata.
Pendekatan ini sangat berbeda dari mekanisme pidana konvensional, yang harus menuntut dengan pembuktian kesalahan sebelum tindakan bisa diambil terhadap aset mereka.
Model NCB ini bukan hal baru untuk didengar. Negara-negara seperti Amerika Serikat, Inggris, Australia, dan Afrika Selatan sudah menerapkannya dan terbukti efektif dalam mempercepat pemulihan aset hasil kejahatan. Bahkan di beberapa negara, aset yang berhasil disita langsung dialokasikan untuk membiayai layanan publik, seperti pendidikan, kesehatan, atau bantuan sosial yang manfaatnya bisa langsung dirasakan masyarakat.
Kekhawatiran dan Tantangan
Setiap kebijakan hukum yang dibuat dan memberi kewenangan besar kepada Negara harus diawasi dengan ketat. Banyak berbagai pihak yang khawatir mengenai RUU ini bisa disalahgunakan untuk tujuan politik. Misalnya dengan menyita aset seseorang tanpa melalui proses yang transparan dan menjadi potensi penyalahgunaan kekuasaan.
Namun, solusi dari kekhawatiran tersebut bukanlah menolak Undang-Undang Perampasan Aset, melainkan dengan memastikan regulasinya dirancang secara cermat dan penuh kehati-hatian. RUU ini harus dibangun di atas prinsip perlindungan terhadap hak asasi manusia yang kuat dan tak bisa ditawar. Keadilan tidak boleh dikobarkan demi kecepatan, serta setiap proses penyitaan harus melalui mekanisme pembuktian yang adil dan transparan di pengadilan. Setiap individu yang asetnya didasar oleh Negara harus diberi ruang untuk membeli diri, menghadirkan bukti, dan mengajukan keberatan. Hak atas pembelaan adalah inti dari Negara hukum.
Kita tidak bisa berharap efek jera muncul hanya dari hukuman penjara. Pemiskinan terhadap pelaku korupsi, terutama dengan pengembalian aset ke negara, akan jauh lebih berdampak secara moral dan psikologis. Lebih penting lagi, publik akan melihat bahwa keadilan benar-benar ditegakkan.
Keadilan yang Menyentuh Hidup Sehari-hari
Sering kali, ketika membicarakan hukum, kita terlalu terfokus pada rumitnya pasal dan teks undang-undang. Kita lupa bahwa yang sebenarnya sedang dipertaruhkan bukanlah sekadar norma hukum, melainkan kehidupan nyata masyarakat. Korupsi bukan hanya soal kejahatan di atas kertas—ia mencuri peluang hidup orang banyak. Akibatnya bisa kita lihat dan rasakan: obat-obatan tidak tersedia di rumah sakit, jalan rusak tak kunjung diperbaiki, akses pendidikan tersendat, dan program bantuan sosial tidak sampai ke yang berhak.
Aset hasil korupsi bukan hanya angka-angka dalam laporan negara. Di balik itu ada sekolah yang batal dibangun, jembatan yang tak pernah selesai, dan masa depan yang tertunda. Mengembalikan aset hasil korupsi berarti mengembalikan harapan. Uang itu bisa digunakan untuk membiayai beasiswa, memperbaiki layanan dasar, atau menghadirkan kebijakan yang lebih berpihak pada rakyat.
Inilah esensi dari Undang-Undang Perampasan Aset. Ia bukan sekadar perangkat hukum, melainkan wujud nyata dari keadilan sosial yang bisa dirasakan langsung oleh masyarakat. Sayangnya, urgensi ini belum sepenuhnya membuka mata para pengambil keputusan.
Ketiadaan RUU Perampasan Aset dalam daftar Prolegnas Prioritas 2025 menimbulkan kekecewaan yang wajar.
Di satu sisi, negara terus menyuarakan komitmen memberantas korupsi. Tapi di sisi lain, instrumen penting yang justru bisa menguatkan langkah itu malah diabaikan.
Bukan Lagi Soal Wacana, Tapi Soal Keberanian
Kini, bola ada di tangan DPR dan pemerintah. Akankah RUU ini hanya jadi wacana politik yang diulang-ulang, atau benar-benar diwujudkan? Kuncinya ada pada keberanian politik. Berani menghadapi tekanan, berani menolak tawar-menawar kepentingan, dan berani berpihak pada rakyat.
Terlalu lama kita bertumpu pada sistem hukum yang tambal sulam.
Sudah saatnya membangun kerangka yang lebih adil, yang tak hanya menghukum tapi juga memulihkan. Perampasan aset bukan sekadar pengembalian kerugian negara. Ini adalah sikap moral: bahwa apa yang didapat dari kejahatan tak boleh dinikmati, apalagi dilindungi.
Kita butuh lebih dari sekadar penegakan hukum. Kita butuh pemulihan yang bermartabat. Dan itu dimulai dengan satu langkah sederhana tapi menentukan: berani mengambil kembali apa yang memang milik rakyat.
0 Comments