Oleh : Syamsul Mualif
Indonesia, dengan keanekaragaman budaya yang kaya, menyimpan banyak warisan budaya yang sangat bernilai. Jambi adalah salah satu Provinsi yang terdapat di Pulau Sumatra lebih tepatnya berada di sebelah Timur Sumatra yang didiami oleh beberapa suku seperti Suku Melayu Jambi, Suku Kerinci, Suku Batin dan Suku Anak Dalam. Di Provinsi Jambi masih terdapat suku atau kelompok masyarakat yang belum berbaur dengan masyarakat lainnya, yang biasa dikenal dengan sebutan Suku Anak Dalam (SAD) Jambi (Ahat & Auliahadi, 2019). SAD Jambi merupakan salah satu kelompok masyarakat adat yang terasing di Provinsi Jambi, yang masih menjalani cara hidup tradisional di daerah-daerah yang sulit dijangkau oleh pemerintah atau organisasi lainnya, seperti di hutan. Beberapa hutan di Provinsi Jambi dan Provinsi Sumatera Selatan merupakan rumah bagi SAD Jambi. Di Provinsi Jambi, SAD Jambi tersebar di delapan kabupaten, yaitu Kabupaten Sarolangun, Kabupaten Merangin, Kabupaten Muara Bungo, Kabupaten Muara Tebo, Kabupaten Batang Hari, Kabupaten Muara Jambi, Kabupaten Tanjung Jabung Timur, dan Kabupaten Tanjung Jabung Barat (Aulia et al., 2020).
SAD merupakan salah satu suku pribumi yang mendiami wilayah Jambi, Nama SAD Jambi telah mengalami perubahan seiring waktu dalam kehidupan masyarakat. Pada awalnya, mereka disebut sebagai 'Orang Kubu', kemudian sebagai 'Orang Rimba', dan akhirnya sebagai Suku Anak Dalam (SAD). Mereka secara tidak langsung menjadi warga negara Indonesia dengan status yang setara dengan suku-suku lainnya seperti Jawa, Bugis, Batak, Sunda, Dayak, Maluku, dan Papua (Tirtosudarmo, 2022). Mereka adalah warga negara Indonesia yang miskin, jauh dari akses fasilitas kesehatan dan pendidikan, serta terus-menerus menjadi objek pembangunan oleh agen-agen nasional maupun internasional (Tirtosudarmo, 2022).
Istilah "Kubu" mencerminkan persepsi mayoritas penduduk Melayu Islam terhadap Orang Rimba yang memilih hutan pedalaman sebagai tempat tinggal untuk menghindari keterlibatan dalam dunia sosial dan agama Islam Melayu yang lebih luas. Seperti ekomoni Melayu lainnya di wilayah tersebut (misalnya Sakai), istilah "Kubu" membawa makna negatif seperti 'kotor', 'tidak beradab', 'bau', 'belum maju', 'primitif', 'bodoh', dan 'belum memiliki agama'. Bagi sebagian Orang Rimba, istilah "Kubu" dianggap sangat menghina. Sejalan dengan kebijakan pemerintah Indonesia, banyak yang sekarang menggunakan istilah yang lebih sopan secara politis, seperti "Suku Anak Dalam" atau singkatan "sanak," yang berarti suku dari hutan pedalaman (Sager, 2008).
Salah satu kekayaan budaya Orang Rimba dalam memanfaatkan sumber daya alam yang berasal dari hutan kemudian dengan keterampilan yang mereka miliki sumber daya alam yang bersalah dari rimba dimanfaatkannya. Salah satu pemanfaatan sumber daya alam tersebut adalah membuat perhiasan dari pohon Sebalik Sumpah. Perhiasan dari Sebalik Sumpah hanya dapat ditemui dikalangan Orang Rimba saja dan baik laki-laki maupun perempuan dewasa ataupun anak-anak biasanya menggunakan perhiasan (kalung dan gelang) yang terbuat dari Sebalik Sumpah. Pohon Sebalik Sumpah adalah sejenis tanaman keras hanya tumbuh di hutan yang masih bagus keadaannya. Bahkan untuk mendapatkan buah dari pohon Sebalik Sumpah bukanlah perkara mudah, karena pohon tersebut harus dirayu agar diizinkan mengambil buahnya. Akan tetapi dibalik itu semua ,ada sebuah keyakinan yang sangat mereka percayai mengenai pohon Sebelik Sumpah yaitu kekuatan sebagai penolak bala dimiliki Sebelik Sumpah tersebut.
Pohon Sebalik Sumpah
Pohon Sebalik Sumpah adalah jenis tanaman pohon keras, yang menghasilkan buah-buahan. Tumbuhan sebalik sumpah banyak ditemukan di area Himalaya yang memiliki banyak manfaat bagi bidang pengembangan obat. Kulit kayu pohon ini dapat digunakan sebagai antiseptik untuk membersihkan luka dan penyakit gonor. Jus kulit dapat dijadikan sebagai sebagai obat pada hewan yang menderita gagal hati karena kandungan saponin dan tanin di dalamnya (Frodin, 2013).
Di provinsi Jambi sendiri biasanya pohon ini ditemukan di Taman Nasional Bukit Dua belas, Kabupaten Sarolangun, Kabupaten Tebo dan daerah administrasi lainnya yang masuk dalam Taman Nasional tersebut. Saat ini, pohon tersebut sudah tergolong langka atau jarang ditemukan. Pohon ini memiliki buah berwarna hijau, ukuran dan bentuknya sangat mirip seperti apel hijau dengan ukuran terkecil. Di dalam buah lerok melong terdapat biji-bijian berwarna cokelat muda. Biasanya hanya akan tumbuh sekali setahun. Biji itu lah yang akan dijadikan gelang atau kalung.
Proses Pembuatan
Bagian menarik adalah untuk mendapatkan biji pohon sebalik sempah Orang Rimba harus masuk ke dalam hutan beberapa hari, Orang Rimba akan duduk di depan pohon yang batangnya sangat tinggi dan rimbun, mereka para Orang Rimba akan menyenandungkan rayuan berupa nyanyian merayu pohon Sebalik Sumpah agar si pohon mau dipanjat dan diambil buahnya. Rayuan puitis tersebut dilantunkan secara terus menerus sampai pohon Sebalik Sumpah luluh dan memberikan izin untuk dipanjat dan diambil buahnya, Ini merupakan bentuk penghormatan SAD kepada alam yang telah menjadi sumber kehidupan bagi mereka.
Biji yang ada di dalam buah sebalik sumpah tersebutlah yang dimanfaatkan sebagai perhiasan oleh Orang Rimbo. Satu buah sebalik sumpah dapat menghasilkan 12 butir biji. Untuk membuat satu buah gelang sebalik sumpah dibutuhkan 12 butir biji. Biasanya biji dari buah sebelik sumpah dijadikan perhiasan berupa kalung dan gelang (dalam bahasa rimba disebut manik). Setelah dibelah, kemudian biji buah dikeluarkan dan ujung kedua biji buah Sebalik Sumpah dipotong, Sebelum dirangkai menjadi gelang atau kalung biji-biji tersebut dikeringkan lebih dahulu. selajutnya dirangkai atau dibuat untaian dengan menggunakan tali yang biasanya berasal dari akar pohon. Rata-rata Orang Rimbo baik laki-laki, perempuan dewasa maupun anak-anak memakai perhiasan ini.
Fungsi spiritualitas dan sosial
Di SAD Jambi, terdapat kepercayaan terhadap kalung sebalik sumpah. Kalung sebalik sumpah memiliki makna penting bagi masyarakat SAD Jambi, karena merupakan lambang khas mereka. Selain sebagai perhiasan yang dipakai sehari-hari, kalung ini juga diyakini mampu melindungi dari hal-hal buruk.
Pada zaman dulu, orang rimba harus menggunakan manik-manik sebelum mandi di sungai. Namanya manik radang dan manik cacing. Satu ketika, ada orang rimba yang tidak menggunakan manik-manik. Supaya tidak melanggar adat, dia kemudian menjalin buah lerok melong menjadi gelang, kalung, dan gelang kaki. "Setelah dipakai, dia mandi di sungai seperti biasa,". Selama perjalanan, orang tadi bertemu dengan orang lain yang juga penduduk kampung. Dia kemudian diolok-olok karena dianggap aneh lantaran membuat manik-manik dari buah lerok melong. "Orang itu disumpahi bakal meninggal. Tapi yang terjadi adalah orang yang menyumpahi tadi meninggal dua hari kemudian,"
Keyakinan terhadap sebalik sumpah tumbuh dan berkembang dalam kehidupan sehari-hari masyarakat SAD Jambi. Mereka percaya bahwa Sebalik Sumpah mempunyai kekuatan dan mampu menolak dan menangkal bala. Bahkan Orang Rimbo meyakini bahwa Sebalik Sumpah jika dipakai, maka akan membalikkan sumpah serapah yang diberikan oleh orang lain kepada si pemakai. Pohon Sebalik Sumpah sangatlah keramat dan Orang Rimbo sangat menghargai kekuatan pohon sebalik sumpah tersebut. Selain dipercaya mampu membalikkan atau menangkal sumpah, aksesori dari lerok melong tersebut dianggap sebagai jimat untuk menjaga diri dan menghalau unsur gaib. "Juga sebagai lambang persaudaraan.
0 Comments