Ticker

6/recent/ticker-posts

Pengaruh Penggunaan Sarkasme dan Ujaran Kebencian di Media Sosial terhadap Kehidupan Nyata



The Impact of Sarcasm and Hate Speech on Social Media on Real Life


1. Nurhasanah, Jurusan Penyuluhan Pertanian, FP, Universitas Andalas

2. Rendi Ananda Rusdian. Jurusan Agribisnis, FP, Universitas Andalas

3.Qatrunnada Al Fadiyah, Jurusan Gizi, F.Kesmas, Universitas Andalas,

4.Abu Zafran Jurusan Teknik Industri,FT,Universitas Andalas


1. sanahnurhasanah.2004@gmail.com,

 2.anandarusdianrendi@gmail.com, 

3. qatrunnadaalfadiyah54@gmail.com,

4.  abuzafran54@gmail.com 



Abstract

Fenomena sarkasme dan ujaran kebencian di media sosial telah menjadi tantangan serius dalam menjaga etika komunikasi di era digital. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dampak penggunaan sarkasme dan ujaran kebencian terhadap penerapan kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar, faktor-faktor penyebabnya, serta pengaruhnya terhadap aspek sosial dan psikologis masyarakat. Studi ini menggabungkan metode observasi media sosial, diskusi kelompok, dan studi literatur untuk memperoleh pemahaman yang komprehensif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sarkasme dan ujaran kebencian tidak hanya merusak hubungan interpersonal tetapi juga menciptakan polarisasi sosial dan gangguan psikologis. Dengan memahami dinamika tersebut, penelitian ini memberikan rekomendasi strategis untuk meningkatkan literasi digital, memperkuat regulasi, dan mendorong dialog antarkelompok sebagai solusi untuk membangun lingkungan komunikasi yang lebih sehat.


Pendahuluan

 

Kemajuan teknologi informasi telah mentransformasi cara masyarakat berkomunikasi. Media sosial, sebagai ruang publik digital, memungkinkan individu mengekspresikan diri secara luas. Namun, kebebasan ini kerap disalahgunakan untuk menyebarkan bahasa negatif, termasuk sarkasme dan ujaran kebencian.

Fenomena ini mengkhawatirkan karena tidak hanya berdampak di dunia maya, tetapi juga merembet ke kehidupan nyata, memengaruhi hubungan sosial, kesehatan mental, dan nilai-nilai kebangsaan (Raharjo,2020).


Begitu banyak ujaran kebencian, berita bohong dan akses konten negatif yang semakin meresahkan warga masyarakat. Generasi yang akan datang menjadi tantangan terbesar bagi bangsa ini. Keteladanan yang patut diberikan sangat menentukan para generasi ini untuk terus dapat mempelajari hal yang bermanfaat bagi dirinya. Seperti pada berita hoaks yang terjadi pada kalangan pengguna media sosial yang mengandung ujaran kebencian “As online content continues to grow, so does the spread of hate speech. We identify and examine challenges faced by online automatic approaches for hate speech detection in text. Among these difficulties are subtleties in language, differing definitions on what constitutes hate speech, and limitations of data availability for training and testing of these systems,Penyebaran berita hoaks yang sangat cepat didukung oleh kemajuan teknologi yang ada.

Hampir setiap orang memiliki perangkat gawai yang dapat mengakses berbagai macam hal, tidak terkecuali konten hoaks. Pada tahun 2016, dari 256,2 juta jiwa penduduk Indonesia, terdapat 132,7 juta jiwa yang sudah terhubung ke internet. Konten yang paling banyak diakses oleh masyarakat Indonesia adalah media sosial. “(A. Ben-David,2016).

Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) mengungkapkan pengguna internet di Indonesia saat ini mencapai 63 juta orang. Dari angka tersebut, 95 persennya menggunakan internet untuk mengakses jejaring sosial. 

Direktur Pelayanan Informasi Internasional Ditjen Informasi dan Komunikasi Publik (IKP) ,Selamatta Sembiring mengatakan, situs jejaring sosial yang paling banyak diakses adalah Facebook dan Twitter. Indonesia menempati peringkat 4 pengguna Facebook terbesar setelah USA, Brazil, dan India. Banyaknya sosial media yang juga diakses oleh masyarakat di Indonesia hampir sama dengan beberapa negara tersebut “This study considers the ways that overt hate speech and covert discriminatory practices circulate on Facebook despite its official policy that prohibits hate speech.(A.Ben-David,2016).

Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, khususnya melalui media sosial, telah mengubah cara masyarakat Indonesia berkomunikasi. Media sosial seperti Facebook, Twitter, Instagram, dan platform lainnya memberikan ruang bagi individu untuk berinteraksi, berbagi informasi, dan mengekspresikan pendapat secara lebih bebas (Ratnasari,2021).

Kebebasan berekspresi ini membuka peluang bagi pengguna untuk berkomunikasi dengan lebih luas, namun sering kali pula mengakibatkan munculnya bahasa kasar dan ujaran kebencian. 

Fenomena ini semakin mengkhawatirkan karena tidak hanya berpengaruh di ruang digital, tetapi juga merambat ke dunia nyata, memengaruhi hubungan sosial, kesehatan mental, hingga kenyamanan lingkungan (Rahman,2019).

Sarkasme adalah bentuk komunikasi yang sering digunakan untuk mengejek atau menyindir dengan cara yang tajam dan merendahkan. Ujaran kebencian merujuk pada ekspresi yang bersifat diskriminatif atau menghina berdasarkan identitas tertentu, seperti ras, agama, atau gender (Yusiana,2021).

Penggunaan sarkasme si social media berpengaruh pada kahidupan nyata, hal tersebut dapat dilihat dari beberapa aspek diantaranya Aspek Psikologis: Ujaran kebencian dapat menyebabkan stres emosional, depresi, dan gangguan kecemasan pada korban. Hubungan Sosial: Bahasa negatif memperburuk komunikasi antarindividu, menciptakan polarisasi, dan konflik dalam masyarakat. Dinamika Media Sosial: Media sosial memungkinkan anonimitas dan penyebaran viral, yang mendorong individu untuk lebih mudah mengekspresikan opini negative (Nugraha,2018).

 Bahasa Indonesia mengandung nilai-nilai kesantunan dan penghormatan yang dirancang untuk menjaga harmoni dalam komunikasi. Namun, pengguna media sosial sering kali mengabaikan kaidah ini, sehingga mengurangi kualitas interaksi di ruang public (Raharjo,2020).

Bahasa Indonesia, sebagai bahasa nasional, mengandung kaidah dan norma yang dirancang untuk menciptakan komunikasi yang tertib dan beradab. Berdasarkan kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar, bahasa yang digunakan dalam ruang publik, termasuk media sosial, mencerminkan nilai-nilai kesantunan, kedisiplinan, dan penghormatan antarsesama. Penggunaan bahasa yang baik dan benar mencakup pemilihan kata yang tepat, tidak kasar, dan menghindari ujaran yang berpotensi menyakiti atau menyinggung perasaan orang lain. Namun, dalam praktiknya, banyak pengguna media sosial yang melupakan prinsip ini, sehingga komunikasi di media sosial kerap dipenuhi oleh kata-kata kasar dan ujaran kebencian (Raharjo,2020).

Selain itu, penyalahgunaan bahasa di media sosial sering kali muncul karena anonimitas atau jarak fisik yang memberi rasa aman untuk mengekspresikan pendapat secara bebas. Media sosial juga cenderung mendorong konten-konten emosional yang sering kali menjadi viral, sehingga memperbesar risiko paparan ujaran kebencian. Fenomena ini menjadi tantangan bagi upaya melestarikan dan menerapkan kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar dalam interaksi sehari-hari, termasuk dalam dunia digital. Dampaknya, ujaran kebencian dan bahasa kasar di media sosial tidak hanya memengaruhi suasana psikologis pengguna, tetapi juga dapat memicu konflik sosial di dunia nyata (Saputra,2021).

Pemilihan lokasi penelitian di perkotaan didasarkan pada tingginya penetrasi internet dan beragamnya pengguna media sosial. Di lingkungan perkotaan, pengaruh media sosial terhadap kehidupan nyata sangat terasa karena interaksi digital sering kali menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari masyarakat, baik dalam hubungan keluarga, persahabatan, maupun pekerjaan. Di sisi lain, masyarakat perkotaan umumnya menghadapi tekanan sosial yang lebih tinggi, sehingga rentan terhadap dampak negatif dari komunikasi negatif di media sosial (Yulianti,2020).

Dalam konteks ini, penelitian mengenai dampak penggunaan Sarkasme dan ujaran kebencian di media sosial menjadi penting, terutama untuk melihat bagaimana fenomena tersebut memengaruhi kualitas hidup masyarakat serta penerapan kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar. Dengan adanya penelitian ini, diharapkan dapat diperoleh pemahaman yang lebih mendalam tentang pentingnya berbahasa yang santun dan sesuai kaidah, baik di dunia nyata maupun di ruang digital. Lebih lanjut, hasil penelitian ini dapat menjadi bahan untuk mengedukasi masyarakat pentingnya menjaga etika dan kualitas bahasa yang baik di media sosial sebagai bagian dari upaya menciptakan lingkungan komunikasi yang sehat dan harmonis (Saputra,2021).

Metode Penelitian

Penelitian ini Bertujuan Supaya Melalui penelitian ini, mahasiswa dapat meningkatkan kesadaran pentingnya penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar, terutama di ruang digital. Mahasiswa akan lebih memahami bagaimana bahasa yang santun dan sesuai kaidah dapat mendorong komunikasi yang positif dan mencegah konflik.

Penelitian ini juga membantu mahasiswa memahami pentingnya menjaga etika berbahasa, baik di dunia maya maupun dalam komunikasi sehari-hari. Mahasiswa akan lebih terampil dalam menyampaikan pendapat secara efektif tanpa menggunakan Sarkasme atau ujaran kebencian, sehingga mampu menjaga citra pribadi dan komunitas akademik.

Hasil dan Pembahasan

Penelitian ini menemukan bahwa penggunaan sarkasme dan ujaran kebencian di media sosial memiliki dampak yang signifikan terhadap individu, terutama dalam hal emosi, sikap, dan perilaku. Analisis konten dari platform media sosial seperti Instagram dan YouTube menunjukkan bahwa sebagian besar pengguna cenderung menggunakan bahasa yang tidak etis sebagai bentuk ekspresi perasaan atau kritik terhadap individu atau kelompok tertentu. Misalnya, dalam salah satu kasus di platform YouTube, terdapat komentar yang menggunakan kata 'hebat' yang ternyata dimaksudkan sebagai sindiran terhadap seseorang.

  

Komentar tersebut sepertinya menyindir atau mengejek seseorang (mungkin seorang ibu) yang dianggap terlalu dramatis atau berlebihan dalam mengekspresikan emosi. Kata-kata seperti "habis nangis langsung bisa ketawa, trs nangis lagi" menunjukkan perubahan emosi yang cepat dan tidak konsisten, yang sering dianggap sebagai tanda drama. komentar ini mengungkapkan ketidaksukaan atau ketidaksetujuan pengomentari terhadap perilaku yang dianggap berlebihan dan dramatis. Namun, penting untuk diingat bahwa ini hanyalah interpretasi berdasarkan teks yang terbatas. Konteks yang lebih lengkap diperlukan untuk memahami sepenuhnya maksud dari komentar tersebut.

 

Komentar tersebut menyampaikan pesan bahwa di Indonesia, jumlah orang baik tidaklah sedikit. Namun, yang kurang adalah kesadaran atau pengetahuan orang-orang tentang kebaikan tersebut. komentar ini ingin menyampaikan pesan positif tentang kebaikan manusia. Penulis komentar ingin mengajak orang-orang untuk lebih menghargai dan mengakui keberadaan orang-orang baik di sekitar mereka. Komentar ini juga bisa diartikan sebagai sebuah ajakan untuk lebih peka terhadap kebaikan dan menyebarkan kebaikan tersebut kepada orang lain.

  

memiliki beberapa kemungkinan makna, tergantung pada konteks percakapan atau situasi yang sedang dibicarakan.contohnya Pertanyaan ini bisa menjadi sindiran terhadap situasi yang dianggap tidak adil atau lucu. Pengguna mungkin ingin menyindir orang yang menyiram Agus atau menyoroti ketidakwajaran tindakan tersebut.

 

Komentar "Gada yg mau patungan beli air keras lagi?" memiliki arti bahwa orang yang menulis komentar tersebut sedang mencari teman untuk patungan membeli minuman beralkohol (air keras). Kata "gada" adalah singkatan dari "tidak ada" dalam bahasa gaul.

Dalam konteks ini, komentar tersebut termasuk dalam kategori sarkasme sopan, di mana penggunaan kata tersebut terdengar sopan pada awalnya, namun akhirnya jelas mengandung makna penghinaan.Selain itu, analisis terhadap platform Instagram menunjukkan banyaknya komentar yang mengandung bahasa kasar, seperti penggunaan istilah penghinaan terhadap kelompok tertentu.


  Sebagai contoh, dalam sebuah diskusi publik terkait masalah sosial, pengguna menggunakan kata-kata seperti 'anjing', 'babi', tolol, jelek dan sejenisnya secara berulang untuk merendahkan pendapat orang lain.

 

Komentar "bajingan kek gitu lo tangisin, tolol" memiliki makna bahwa komentar ini mengandung unsur penghinaan dan kemarahan. Kata "bajingan" adalah kata kasar yang digunakan untuk merendahkan atau menghina seseorang.Penulis mungkin sedang mengkritik tindakan orang lain yang dianggapnya tidak pantas, yaitu menangis karena seseorang yang dianggap "bajingan".

 

Komentar ini menunjukkan adanya emosi negatif, seperti marah atau kesal, yang dirasakan oleh penulis.komentar ini mencerminkan interaksi yang tidak sehat dan negatif di dunia maya. Penggunaan kata-kata kasar dan saling menghina seperti ini tidak membawa manfaat apa pun dan justru dapat memperburuk situasi.

  

Komentar "Agus anj " yang memiliki makna yang sangat negatif dan tidak pantas. Kata "anj" adalah singkatan dari kata kasar yang sangat menghina dan tidak sopan.Komentar ini jelas-jelas merupakan penghinaan terhadap seseorang yang bernama Agus. Kata "anj" digunakan untuk merendahkan dan menghina martabat Agus.

 

Komentar "lewat mulu anj " mengandung beberapa makna negatif dan menunjukkan ketidakpuasan yang tinggi. Ini adalah singkatan dari kata kasar yang sangat tidak sopan dan menunjukkan kemarahan atau frustrasi yang tinggi. Penggunaan kata ini membuat komentar menjadi sangat kasar dan tidak pantas.

Bahasa seperti ini tidak hanya mengarah pada polarisasi sosial, tetapi juga menciptakan suasana yang emosional dan agresif. Efek psikologis dari paparan ujaran kebencian seperti ini dapat menimbulkan rasa marah, frustrasi, dan bahkan kecemasan pada individu yang menjadi sasaran. Kasus-kasus ini menunjukkan betapa kuatnya pengaruh sarkasme di media sosial dalam membentuk sikap negatif terhadap individu atau kelompok, serta dampaknya terhadap hubungan interpersonal. Pengguna yang terpapar ujaran kebencian atau sindiran sering kali merasa terpinggirkan atau dihina, yang mempengaruhi keadaan emosional dan perilaku mereka, seperti menghindari interaksi lebih lanjut atau bahkan berkontribusi pada eskalasi konflik. Oleh karena itu, sangat penting untuk meningkatkan kesadaran mengenai etika berbahasa yang baik di media sosial untuk menciptakan ruang komunikasi yang lebih sehat.

1. Bagaimana penggunaan kata-kata kasar dan ujaran kebencian di media sosial mempengaruhi penerapan kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar dalam komunikasi sehari-hari masyarakat?

Penggunaan kata-kata kasar dan ujaran kebencian di media sosial menyebabkan degradasi kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar. Kebebasan berekspresi di media sosial sering disalahgunakan, di mana pengguna cenderung mengabaikan prinsip kesantunan bahasa. Seperti yang disebutkan dalam artikel, bahasa kasar seperti “anjing,” “bajingan,” atau sindiran tajam memperburuk kualitas komunikasi antarindividu dan menciptakan polarisasi. Akibatnya, masyarakat menjadi terbiasa menggunakan bahasa yang tidak sesuai dengan norma dan etika berbahasa dalam kehidupan sehari-hari.

2. Apa saja faktor-faktor keagamaan yang berperan dalam mempengaruhi tingginya intensitas ujaran kebencian di media sosial, dan bagaimana pemahaman agama dapat mengurangi perilaku negatif tersebut?

Faktor keagamaan yang memicu tingginya ujaran kebencian di media sosial antara lain perbedaan tafsir ajaran, fanatisme berlebihan, dan provokasi terkait isu agama. Ujaran kebencian sering muncul ketika seseorang merasa agamanya dihina atau direndahkan. Namun, pemahaman agama yang baik dapat membantu mengurangi perilaku negatif ini. Prinsip-prinsip agama mengajarkan kesantunan, toleransi, dan penghormatan terhadap sesama. Dengan meningkatkan literasi keagamaan, individu dapat lebih bijak dalam menyikapi perbedaan dan menghindari provokasi negatif.

3. Bagaimana dampak sosial dari paparan ujaran kebencian di media sosial terhadap interaksi sosial masyarakat, khususnya dalam menjaga nilai-nilai etika dan norma kesopanan dalam kehidupan nyata?

Paparan ujaran kebencian di media sosial berdampak signifikan pada interaksi sosial. Artikel menyebutkan bahwa hal ini dapat menciptakan polarisasi sosial, memperburuk komunikasi antarindividu, dan memicu konflik di dunia nyata. Penggunaan bahasa kasar merusak norma kesopanan dan etika komunikasi. Akibatnya, masyarakat menjadi kurang menghargai perbedaan pendapat dan lebih mudah terprovokasi, yang mengurangi keharmonisan sosial dan menurunkan kualitas interaksi.

4. Bagaimana persepsi masyarakat mengenai dampak psikologis dan emosional dari ujaran kebencian di media sosial, ditinjau dari perspektif etika berbahasa, nilai-nilai agama, dan hubungan sosial di dunia nyata?

Masyarakat merasakan dampak psikologis yang signifikan akibat ujaran kebencian, seperti stres, depresi, dan kecemasan. Dari perspektif etika berbahasa, ujaran kebencian mencerminkan kegagalan dalam menerapkan prinsip komunikasi yang santun. Nilai-nilai agama mengutamakan kesabaran dan toleransi, namun ujaran kebencian kerap bertentangan dengan prinsip ini. Selain itu, dari segi hubungan sosial, ujaran kebencian dapat merusak kepercayaan antarindividu dan memicu konflik, sehingga mengganggu keharmonisan masyarakat secara keseluruhan.


Kesimpulan dan Rekomendasi

Penggunaan sarkasme dan ujaran kebencian di media sosial berdampak signifikan terhadap kualitas komunikasi, baik di dunia maya maupun nyata. Untuk mengatasi fenomena ini, diperlukan kolaborasi antara pemerintah, platform digital, dan masyarakat dalam menciptakan ruang komunikasi yang inklusif dan etis. Dengan literasi digital yang memadai, regulasi yang kuat, dan dialog yang konstruktif, diharapkan atmosfer komunikasi di media sosial dapat berubah menjadi lebih positif dan mendukung keharmonisan sosial.


Daftar Pustaka 

 

A. Ben-David and A (2016). Matamoros-Fernández, “Hate speech and covert discrimination on social media: Monitoring the Facebook pages of extreme-right political parties in Spain,” Int. J. Commun., vol. 10

Nugraha, A. (2018). “Ujaran Kebencian dalam Perspektif Hukum dan Sosial.” Jurnal Komunikasi dan Hukum, 12(2), 45-56.

 Nurlaila, S. (2020). Etika Komunikasi di Era Digital. Jakarta: Pustaka Ilmu.  

Raharjo, B. (2020). “Bahasa sebagai Refleksi Budaya: Studi tentang Komunikasi Positif.” Jurnal Kebudayaan Indonesia, 18(2), 75-89.

Rahman, T. (2019). “Pengaruh Komunikasi Negatif terhadap Hubungan Sosial.” Jurnal Psikologi dan Komunikasi Sosial, 15(1), 55-70.

 Ratnasari, D. (2021). Komunikasi Harmonis di Era Digital: Sebuah Pendekatan Sosial. Jakarta: Gramedia Pustaka.  

Saputra, A. (2021). Psikologi Sosial: Dampak Ucapan Negatif terhadap Hubungan Antarindividu. Jakarta: Pustaka Ilmu.

Yulianti, S. (2020). “Peran Literasi Digital dalam Mencegah Ujaran Kebencian.” Jurnal Teknologi dan Sosial Budaya, 14(3), 45-55.

Yusiana, R. (2021). Etika Berbahasa dalam Era Digital. Bandung: Gramedia Pustaka.

Post a Comment

0 Comments


SELAMAT DATANG DI SEMOGA ANDA PUAS