Ticker

6/recent/ticker-posts

"Nikel di Pulau Obi : Demi Sumber Daya Berkelanjutan, Rela Dieksploitasi Habis Habisan"

 


oleh : Shyla Aulia Delfi


Di pulau Obi, Maluku Utara, anak-anak bermain di laut setiap pagi dan sore. Namun entah sampai kapan kebahagiaan mereka akan bertahan. Sebab pemandangan bawah laut Pulau Obi kini tidak selalu jernih: ada kalanya keruh akibat limbah dari tambang nikel, ada kalanya perkebunan yang dulu rimbun kini di deforestasi, dan ada kalanya bahan pangan sulit ditemukan. Hal ini disebabkan oleh Limbah Nikel yang sedang marak-nya di Pulau Obi, Maluku Utara.

Nikel selalu dikaitkan dengan energi hijau, karena fungsinya untuk bahan baku baterai kendaraan listrik. Nikel merupakan bahan utama penyusun precursor katoda baterai yang digunakan untuk mendukung kemajuan industri kendaraan listrik di dunia. Menariknya, Sebaran penghasil nikel terbesar di Indonesia didominasi pada wilayah Timur yang memiliki lingkungan hidrotermal atau aktivitas vulkanik yang aktif, seperti Halmahera di Maluku Utara, Kolaka di Sulawesi Tenggara, Luwu Timur di Sulawesi Selatan dan Morowali di Sulawesi Tengah. Seluruh daerah itu sudah dipromosikan oleh pemerintah agar investor asing mau mengucurkan dana untuk mendirikan pabrik olahan nikel yang compatible, atau smelter (tempat pengolahan dan pemurnian bijih nikel). 

Menurut Badan Survei Geologi Amerika Serikat (USGS), Indonesia merupakan negara dengan cadangan nikel terbesar di dunia. Dengan total 23% cadangan nikel dunia berada di Indonesia. Pabrik pengolahan nikel terbesar di Indonesia berada pada Pulau Obi yang terletak di Kabupaten Halmahera Selatan, Maluku Utara. Untuk mencapai pulau ini tidak bisa dilakukan dengan perjalanan udara, namun hanya bisa dijangkau oleh transportasi laut saja. Gencarnya hilirisasi nikel, membuat pemerintah mengeluarkan aturan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 11 Tahun 2019 tentang larangan mengekspor bijih nikel. Oleh karena itu, diperlukan smelter untuk mengolah bijih nikel menjadi Nikel Sulfat (NiSO4) dan Kobalt Sulfat (CoSO4). Menurut data, hingga 2022 ada 23 smelter di Indonesia yang sudah beroperasi, dari 23 smelter itu 21 diantaranya dimiliki oleh Cina yang membuat negeri ini memiliki kekuatan penuh atas ekspor nikel di Indonesia.

Harita Nickel merupakan salah satu smelter nikel terbesar di Indonesia bahkan di dunia, yang mengoperasikan pertambangan terintegrasi di daerah Halmahera ini. Pabrik ini, ialah pabrik smelter nikel satu-satunya di indonesia yang berteknologi High Pressure Acid Leaching (HPAL). Kawasan pabrik ini sangat istimewa, terlihat pada peresmian yang dihadiri banyak menteri pada 23 Juni 2021. Sehingga penjagaan di sekitar wilayah pabrik ini sangat ketat dengan aparat keamanan bersenjata lengkap.

Saat peresmian ini, Menteri maritim berbicara tentang Indonesia yang memiliki visi sebagai produsen penghasil bahan bakar (baterai) kendaraan listrik terbesar di dunia. Sebelum diresmikan juga Luhut telah berbincang hangat dengan pemilik mobil listrik ternama (tesla) yaitu Elon Musk. Ia mengklaim Industri ini akan menurunkan kadar emisi dari penggunaan kendaraan berbahan bakar fosil. “Ini adalah aset bangsa. Kita harus lindungi. Namun lingkungan harus dijaga” kata Luhut, Selaku Menteri Maritim kala itu.

Sayangnya, Ambisi untuk memanfaatkan Sumber Daya Alam nikel ini sirna ketika masalah lingkungan muncul di permukaan. Masalah yang seharusnya telah dibatasi oleh peraturan-peraturan lingkungan, seperti diabaikan begitu saja. Apa pabrik ini memiliki kekuatan super sehingga dapat melawan hukum-hukum yang telah ditentukan? Atau ada dalang dibalik ini semua?. Kita tidak pernah mengetahui seberapa kuat koneksi pendiri pabrik Harita Nickel ini dengan aparat penegak hukum, yang pasti ekosistem sekeliling tambang-lah yang terancam keberadaannya.

Jika dibandingkan dengan pabrik smelter nikel lain, pabrik Harita dapat perlakuan spesial dengan diberi izin pembuangan hasil sisa pengolahan (limbah tailing) ke laut dalam. Tentunya, Masyarakat sekitar dan aktivis lingkungan gempar melihat kondisi seperti ini. “apakah palung yang sangat dalam di laut itu untuk penampungan limbah?” dikarenakan tidak adanya kejelasan perizinan, pihak Harita lalu mengajukan pembuangan limbah tailing di darat dengan membuat bendungan penampung sisa hasil pemurnian bijih nikel tersebut. Kejanggalan-nya, izin ini baru diajukan pada akhir 2021 padahal peresmian dilakukan dari bulan juni. Lalu, kemanakah limbah tailing ini bermuara selama 6 bulan terakhir ini?

Ekosistem yang telah tercipta jutaan tahun lalu lenyap dalam sekejap mata, hanya karena kesombongan kita sebagai makhluk hidup yang mempunyai akal. Menurut data yang telah diperoleh, air laut maupun Sungai di sekitaran Pulau Obi telah tercemar dengan melebihi status optimum. Indeks Keanekaragaman jenis flora dan fauna pada Pulau Obi memperlihatkan pada setiap komunitas termasuk kategori rendah hingga sedang. Hal ini dapat diartikan bahwa Sebagian dari jenis yang ada pada pulau tersebut telah terdegradasi akibat pembangunan pabrik yang memakan 1.885 hektar. Oleh sebab itu, jenis-jenis spesies yang ditemukan telah berkurang satu persatu.

Di sisi lain, Sungai Ake Lamo yang merupakan Sungai terbesar di Pulau Obi, kini telah dibongkar oleh Perusahaan tambang nikel untuk dijadikan smelter. Tidak sampai disitu, Sungai-sungai yang mengalir ke laut telah dicemari oleh limbah tailing yang dijadikan sebagai bahan pemurnian bijih nikel ini. Tentunya Masyarakat sekitar khawatir akan masa depan wilayah ini jika terjadi secara berkelanjutan. Temuan penelitian Universitas Khairun Ternate juga menjelaskan, bahwa pada ikan-ikan di perairan Obi memiliki sel-sel yang telah rusak (nekrosis) diakibatkan keracunan oleh polusi logam berat. Jika ikan ini termakan oleh manusia maka akan terjadi Biomagnifikasi (penumpukan polutan dari produsen hingga konsumen), sehingga fungsi sel terganggu dan terjadi kerusakan organ. Perairan Obi merupakan salah satu pemasok ikan nasional, dimana ikan yang terkenal pada wilayah ini yaitu tuna dan cakalang. Diketahui pula, sekitar 60% breeding ikan tuna berada pada wilayah Obi ini. Jika terus dibiarkan, kemungkinan populasi tuna di masa depan akan menipis.

Ekstraksi nikel yang dilakukan oleh Perusahaan-perusahaan di bawah Harita Nickel telah meninggalkan daya rusak ekologis yang panjang dan butuh waktu lama untuk dipulihkan. Mulai dari pembukaan lahan skala besar, pencemaran air, udara dan laut yang berdampak pada terganggunya keseimbangan ekosistem alam. Padahal, tujuan awal nikel ialah sebagai bahan baku baterai listrik dalam kampanye energi hijau di dunia. Ditambah dengan adanya perjanjian jangka panjang dengan GEM dan CATL, Perusahaan Baterai Listrik dari China. Dimana dua perusahaan itu menguasai 30% pasar baterai global. Ini berarti, hasil baterai tersebut akan digunakan mobil listrik merek bergengsi.

Maka, ketika mobil-mobil listrik telah berjalan di jalanan ibukota yang semakin jauh dari pencemaran dan asri. Wilayah Pulau Obi malah semakin rusak karena eksploitasi lahan dan pembuangan limbah. Menandakan bahwa pemerintah harus-nya buka mata akan fenomena pepatah “Menghijaukan Kota, Tapi Memerahkan Laut Halmahera”. Serta mengatasi permasalahan yang ada di Kawasan Pabrik Nikel di Wilayah Pulau Obi.

Post a Comment

0 Comments


SELAMAT DATANG DI SEMOGA ANDA PUAS