Ticker

6/recent/ticker-posts

MENGENAL SOSIOLOGI SASTRA DARI LAGU MINANG MODERN

 



BERJUDUL “HIDUIK DI RANTAU SUBARANG” KARYA CHILUNG RAMALI


Oleh : Saskia Putri Nabilla

Mahasiswa Sastra Minangkabau, Universitas Andalas


 


Pembahasan mengenai karya sastra, tentu tidak akan lepas dari genggaman masyarakat. Hal tersebut dikarenakan bahwa karya sastra lahir dari pengarang yang juga merupakan bagian dari suatu masyarakat. Sastra menyajikan dunia dalam kata, yang bukan dunia sesungguhnya, tetapi dunia yang mungkin ada. Karya sastra sebagai karya imajiner menawarkan berbagai permasalahan manusia dan realitas di lingkungannya. Pengarang mengkhayati berbagai permasalahan tersebut dengan penuh kesungguhan yang kemudian diungkapkannya kembali melalui sarana fiksi sesuai dengan pandangannya (Nurgiyantoto, 2007: 1). 


Secara umum, karya sastra terbagi atas prosa, puisi, dan drama. Lirik lagu sebagai salah satu unsur pembangun dalam lagu atau musik dapat dikategorikan sebagai puisi dalam karya sastra. Hal ini dapat dilihat dari kemiripan struktur dan kepadatan pesan yang disampaikan.  Lirik lagu merupakan ekspresi seseorang tentang suatu hal yang sudah dilihat, didengar maupun dialaminya. Dalam mengekspresikan pengalamannya, penyair atau pencipta lagu melakukan permainan kata-kata dan bahasa untuk menciptakan daya tarik dan kekhasan terhadap lirik atau syairnya. Permainan bahasa ini dapat berupa permainan vokal, gaya bahasa maupun penyimpangan makna kata dan diperkuat dengan penggunaan melodi dan notasi musik yang disesuaikan dengan lirik lagunya sehingga pendengar semakin terbawa dengan apa yang dipikirkan pengarangnya (Awe dalam Rahmat Hidayat, 2014). 


Lagu Minang berjudul “Hiduik Di Rantau Subarang” merupakan salah satu karya lagu milik Chilung Ramali yang merupakan salah seorang penulis lagu Minang yang cukup populer di eranya. Penulis lagu ini, juga telah banyak melahirkan karya-karya yang sampai saat ini masih populer di kalangan masyarakat Minangkabau. Adapun hasil karyanya tertuang dalam beberapa judul lagu seperti Gadih Manangih, Suratan Badan, Bancano di Khatulistiwa, Balada Anak SMA, Minang Malang Minang Sayang, Oto Pelita, Salam Perantauan, Adiak jo Uda, Pulanglah Rang Minang, Bulan Kasiangan, Gadih Garejo, Gunuang Sago, Sarawa Cutbray, Pangganti Dirinyo, Bulan Tarang, Hujanlah Turun Pulo, KM Kurinci, Udin Kuriak jadi Marapulai, Aia Mato Cinto, Alek Nak Mudo, Tanjuang Pariuak, Denai Anak Subarang, Oto PLB, Sabaleh jo Kapalo, Hiduik di Rantau Subarang dan beberapa lagu Minang lainnya. Berikut lirik salah satu lagu Chilung Ramali “Hiduik di Rantau Subarang” :


Tapana hati di pasia putiah, lamunan tinggi ka langik

Sasayuik mato mamandang, lautan laweh mambantang

Jauah di kaki langik oi, di baliak awan

Disinan den dilahiakan, dimanjo jo disayang


Tangiang juo yo di talingo, carito nan den dangakan

Hiduik di nagari urang, nan bagalimang cahayo

Mangko denai marantau oi, tinggakan kampuang

Tagadai swah jo ladang, baka di rantau urang


Tingga kulik pambaluik tulang

Badan kuruih rasaki malang

Dapek pagi habihnyo patang


Sakik sakik sakiklah surang

Imbau imbau tiado nan datang

Badan sansai tingga sabatang


Hiduik di nagari urang

Malam dirunduang malang

Hiduik di rantau subarang


Lagu-lagu Minang ciptaan Chilung Ramali, sangat populer di kalangan masyarakat Minang terutama di kalangan para orang tua. Hal tersebut dikarenakan lagu ciptaannya yang telah hadir sejak tahun 1980-an yang mana saat ini merupakan karya lagu yang dikenal akrab oleh masyarakat Minang yang sudah tua. Lagu-lagu Chilung ini, memiliki beberapa tema lagu di antaranya ada yang bertemakan tentang perjuangan hidup seseorang, percintaan, merantau, penantian, kesedihan seseorang dan lain sebagainya. Namun, dari beberapa contoh judul lagu di atas, ada lagu-lagu di antaranya yang cukup menarik apabila dikaji lebih lanjut tentang makna yang terkandung di dalamnya, seperti lagu yang berjudul “Hiduik di Rantau Subarang” yang digambarkan oleh pencipta lagu begitu pilu dan sedih. Lagu tersebut menggambarkan tentang seseorang yang hidup susah di perantauan yang bahkan hanya mampu bertahan hidup sendiri. Dari beberapa hasil penelitian sebelumnya, alasan seorang laki-laki Minangkabau pergi merantau ialah beberapa faktor pendorong, seperti kemiskinan, menimba ilmu, lari dari masalah yang dialaminya di kampung halaman, dan lain sebagainya. Seperti halnya dalam penelitian yang dilakukan oleh Asmon dan Zakwan Adri (2021) yang berhasil mendapatkan data bahwa tujuan merantau dengan subjek berjumlah 29 pemuda Minang yang merantau memperlihatkan bahwa faktor eksternal untuk alasan pendidikan oleh pemuda Minang yang merantau merupakan yang paling tinggi, yaitu sebanyak 51,72%, untuk faktor ekonomi sebanyak 13,80%. Sedangkan faktor eksternal untuk alasan mencari pengalaman yaitu sebesar 34,48%.  Dengan jumlah yang didapat demikian, ternyata dalam karya sastra ditemukan bahwa kehidupan seorang perantau tersebut begitu miris dan sedih seperti yang digambarkan dalam lirik lagu “Hiduik Di Rantau Subarang” karya Chilung Ramali ini. 


Merantau adalah pola migrasi orang Minangkabau yang melembaga secara sosial. Minangkabau saat ini, masih saja menyandang budaya merantau yang sudah menyebar luas di berbagai pelosok dunia. Dengan keberadaan orang berdarah Minang tersebut, bisa dapat dikatakan bahwa merantau bukan saja suatu kebudayaan semata, akan tetapi sudah membawa dampak yang cukup besar bagi semua kalangan masyarakat di dunia. Akibat dari merantau, banyak orang yang pada akhirnya menjadi bagian baru dari kelompok masyarakat yang mereka datangi. Dengan demikian, kelompok masyrakat tersebut akan saling mempengaruhi dan terciptanya suatu etnik yang penuh dengan keragaman. 


Topik merantau dalam lagu ini, memberikan gambaran kepada kita bahwa orang Minangkabau begitu gigih untuk bekerja keras agar dapat mengubah nasib hidupnya menjadi lebih baik. Adapun cita-cita orang Minangkabau adalah pintar, ternama, kaya, dan mulia. Hal ini juga diperkuat dengan cara mereka yang berusaha meningkatkan kapasitas dan kapabilitas dengan menuntut ilmu, menambah wawasan, memperkaya pengalaman, meningkatkan kedewasaan menghadapi dunia yang keras, persaingan yang ketat dan tantangan yang banyak serta berat. Dengan pegangan yang seperti itulah, pada umumnya orang Minang berkeinginan sekali untuk pergi merantau. Seperti halnya pepatah berikut ini :

Ka rantau madang di ulu

Babuah babungo balun

Marantau bujang daulu

Di rumah baguno balun


Pepatah di atas, sejatinya merupakan sebuah perintah untuk anak bujang di Minangkabau agar segera merantau. Sebab, dengan merantau anak muda Minang akan segera mendapatkan pengalaman yang tentu akan sangat berguna bagi kehidupannya kelak. Hal tersebut, memang sebaiknya ditanamkan, karena bagaimanapun seorang laki-laki nantinya juga akan menjadi kepala keluarga yang akan menghidupi keluarganya sendiri. Laki-laki Minang hendaklah memiliki beberapa keahlian yang dapat ia gunakan untuk membangun pondasi kehidupannya. Mengapa demikian? Sebab lelaki di Minangkabau tidak hanya bertanggungjawab terhadap keluarganya saja, akan tetapi juga kepada kaum sesukunya.

Post a Comment

0 Comments


SELAMAT DATANG DI SEMOGA ANDA PUAS