Ticker

6/recent/ticker-posts

GAMBARAN PSIKOPATOLOGIS JURNALIS BENCANA




Kelompok 4 Psikologi Bencana A :

Dita Nuraini Putri ( 1810321015 )

Yuni Dwi Rahmi ( 1810321016 )

Ade Aulia Rahmi ( 1810322034 )

Ivan Favian Kamil ( 1810322037 )


1. PENDAHULUAN

Jurnalis merupakan orang mengumpulkan dan menulis berita dalam surat kabar dan sebagainya (KBBI). Jurnalis diambil dari kata bahasa Inggris yaitu journalist, dari kata journal (laporan). Dalam bahasa Indonesia, jurnalis memiliki makna yang sama dengan wartawan, yang berasal dari kata warta (berita) dan wan (orang). Diambil dari KBBI, wartawan ialah orang yang pekerjaannya mencari dan menyusun berita untuk dimuat dalam surat kabar, majalah, radio, dan televisi.

Di Indonesia, dasar hukum yang mengatur tentang jurnalistik dan pers ada pada UU RI No. 40 Tahun 1999 tentang Pers. Di dalam UU tersebut, dijelaskan secara rinci pengertian pers dan wartawan, hak dan kewajiban pers, kode etik jurnalistik dan masih banyak lagi. Dengan adanya dasar hukum yang jelas, jurnalis dapat meliput informasi dan memberitakannya dalam rangka memberikan berita yang informative kepada para penikmat berita.

Bencana adalah gangguan fungsi yang tidak mampu diatasi oleh manusia. Bencana merupakan hasil interaksi antara tingkat bahaya (banjir, longsor, kebakaran, hutan, dsb) dan tingkat kerentanan (fisik, demografis, lingkungan, ekonomi, dan pendidikan/informasi). Dilihat dari penyebabnya, bencana dapat dibagi menjadi dua, yaitu bencana alam dan bencana non-alam.

Indonesia merupakan negara kepulauan yang berciri nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan hak-haknya ditetapkan oleh undang-undang (Pasal 25A UUD 1945 Negara Kesatuan Republik Indonesia). Letak Indonesia yang berada di tengah garis khatulistiwa (6 derajat Lintang Utara – 11 derajat Lintang Selatan dan 95 derajat Bujur Timur – 141 derajat Bujur Timur) menjadi salah satu penyebab mengapa Indonesia seringkali mengalami bencana alam. Tidak hanya bencana alam, bencana non-alam juga dapat terjadi di Indonesia.

Dalam rangka meliput bencana-bencana tersebut, jurnalis-jurnalis terjun ke situasi bencana tersebut untuk memperoleh informasi yang informatif dalam rangka memberitakan apa yang terjadi di lokasi. Menghadapi situasi tersebut, selain dapat mengalami bahaya dan risiko secara fisik, jurnalis dapat mengalami bahaya dan risiko psikopatologis ketika sedang meliput. Tanpa adanya persiapan fisik dan mental yang sehat, jurnalis akan mengalami beberapa gangguan psikopatologis.


2. PEMBAHASAN

Menurut Haryanto (2016) dalam dunia jurnalis dikenal salah satu konsep yang menjelaskan mengenai peliputan bencana, hal ini biasanya disebut sebagai jurnalisme bencana. Jurnalisme bencana merupakan suatu sikap dan praktik yang harus dimiliki oleh para jurnalis dalam melakukan peliputan suatu bencana. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan mengenai jurnalisme bencana ini :

1. Jurnalis atau wartawan terlebih dahulu harus dapat mengenali bagaimana lingkungan sekitar tempat di mana suatu peristiwa bencana terjadi, seperti bagaimana ancaman dari bencana tersebut, peta bencana, dan juga jalur evakuasinya.

2. Jurnalis dapat merespon suatu peristiwa bencana dengan cepat dan kemudian melakukan verifikasi kepada pihak yang berwenang.

3. Jurnalis harus selalu mengetahui mengenai betapa pentingnya pengetahuan mengenai bencana atau mitigasi bencana.

4. Sebelum turun ke lapangan, jurnalis sudah harus memiliki persiapan yang matang seperti kesiapan berbagai peralatan untuk meliput peristiwa bencana.

5. Jurnalis juga harus dapat membatasi dirinya, dikarenakan pada saat peristiwa bencana terjadi pasti akan banyak berbagai penyakit baik secara fisik maupun mental yang dapat mengganggu mereka.

6. Melakukan rotasi atau pergantian pada jurnalis yang meliput berita, tujuannya agar mereka dapat tetap sehat secara fisik maupun mental selama peliputan bencana

7. Wartawan juga harus memiliki sikap empati terkait dengan korban pada peristiwa bencana.

8. Pada saat menampilkan berita, wartawan harus memberikan siaran yang tidak mengundang trauma atau ketakutan. 

Namun, selain berbagai hal yang harus diperhatikan oleh jurnalis dalam meliput suatu bencana, ternyata jurnalis bencana ini juga rentan mengalami berbagai keadaan psikopatologis saat meliput peristiwa bencana tersebut, Berdasarkan penelitian-penelitian yang ada, psikopatologis yang dapat dialami oleh jurnalis ialah sebagai berikut:

A. Penurunan Kualitas Hidup

Merujuk pada penelitian Starr (2015), jurnalis dapat mengalami penurunan kualitas hidup. Penelitian tersebut menjelaskan tentang jurnalis yang meliput perang saudara di Suriah. Suriah menjadi negara paling berbahaya di dunia bagi jurnalis. Hal tersebut diakibatkan adanya penargetan jurnalis yang kerap memakan korban. Jurnalis menjadi berada pada risiko tinggi, tidak hanya dalam hal keselamatan fisik mereka, tetapi juga pada keselamatan emosional mereka. Jurnalis menjadi kehilangan gairah hidup akibat perang yang ia liput telah banyak merenggut nyawa dari para jurnalis lokal dan jurnalis asing yang juga meliput perang tersebut. Karena merasa harga yang dibayar sangat tinggi dengan resiko pertaruhan nyawa, jurnalis menjadi kehilangan gairah hidup dan mulai menutup diri dengan lingkungan sosialnya. Hal tersebut mengakibatkan rusaknya hubungannya dengan anggota keluarga, pasangannya, serta pekerjaan yang ia tekuni. 

Jurnalis juga merasa tidak perlu untuk meneruskan tugasnya dan meninggalkan pekerjaannya (Monteiro et al., 2016). Dalam hal ini, tanggung jawab untuk melayani kepentingan public, seringkali dalam upaya untuk menarik penonton, dan dorongan untuk mendorong masyarakat yang bebas dan terinformasi dalam hal sejarah dunia kontemporer memaksa jurnalis untuk mengambil terlalu banyak risiko untuk memprioritaskan kepatuhan tugas. Oleh karena itu, hal tersebut membahayakan kesejahteraan mereka sendiri, terutama kualitas hidup yang mereka miliki.

B. PTSD dan Depresi

Banyak penelitian yang menunjukkan bahwa jurnalis yang turun dan meliput situasi bencana, baik bencana alam maupun non-alam, mengalami PTSD dan depresi. Starr (2015) menunjukkan bahwa sekitar 107 jurnalis dari 140 jurnalis lokal yang terlibat meliput perang memiliki banyak gejala gangguan stres pascatrauma (PTSD) dan depresi. Faktor demografi pada populasi umum diketahui juga mempengaruhi psikopatologi dengan jenis kelamin perempuan dan status perkawinan tunggal, keduanya terkait dengan tingkat depresi, kecemasan, dan PTSD yang lebih tinggi. Seiring meningkatnya intensitas gejala PTSD dan depresi, risiko bunuh diri juga meningkat dan kualitas hidup juga semakin menurun.

Penelitian tentang perang lainnya menyebutkan pada hasilnya bahwa keparahan gejala PTSD diukur dengan Daftar Periksa PTSD untuk DSM-5(PCL-5) dikembangkan oleh Weathers et al. (2013) sesuai dengan terjadinya gejala PTSD, menurut kriteria terbaru DSM-5. Ketika DSM telah diperbarui untuk edisi kelima, gejala keempat (kognisi negatif) telah ditambahkan ke kriteria diagnostik PTSD. Kriteria ini belum ditangkap secara memadai oleh para peneliti sebelum tahun 2013 karena penambahan baru-baru ini keDSM. PCL-5 mengukur gejala hyperarousal (M = 2.17, SD = 0,73), penghindaran (M = 1,99, SD =0,88), kognisi negatif (M = 1.93, SD = 0,76), dan intrusi (M = 1.76, SD =0,68). Tanggapan diukur pada skala 5 poin (1 =tidak pernah ke 5 = sebagian besar waktu). Contoh item termasuk "kehilangan minat pada hal-hal yang dulu Anda nikmati," "merasa gelisah atau mudah terkejut," dan "Merasa jauh atau terputus dari orang lain." Lima item mengukur gejala intrusi, dua item mengukur gejala penghindaran, tujuh item mengukur kognisi negatif, dan enam item mengukur hyperarousal. Tingkat keparahan gejala dihitung dengan rata-rata skor untuk setiap gejala secara terpisah. Skor keparahan gejala PTSD keseluruhan dihitung dengan rata-rata semua 20 item (M = 1.96, SD = 0,65) (Seely, 2019).

Jurnalis yang meliput kekerasan pemilu(n¼23) melaporkan intrusi tipe PTSD secara signifikan lebih banyak (P¼0,027) dan gairah (P¼0,024) gejala daripada rekan mereka (n¼34) yang tidak meliput kekerasan (Feinstein et al., 2015). Akibatnya, jurnalis menjadi enggan untuk melanjutkan peliputannya dan cenderung menerima suap yang ditawarkan kepada jurnalis. Jurnalis yang bersikukuh meliput kekerasan pemilu juga mengalami luka-luka saat bertugas. Hal tersebut kemudian yang menyebabkan gejala PTSD pada jurnalis menjadi semakin tinggi

Pada penelitian lain, enam (20,0%) peserta memenuhi ambang PTSD (M = 18,13, SD = 15,84) pada saat survei, yang kira-kira 2 bulan setelah badai. Perlu dicatat bahwa hanya 3 peserta (10%) yang menunjukkan bahwa mereka tidak mengalami gejala PTSD. Oleh karena itu, 90% (n = 27) peserta menunjukkan bahwa mereka telah mengalami beberapa tingkat gejala PTSD terkait dengan Harvey. Separuh peserta (n = 15, 50,0%) menunjukkan mereka masih mengalami gejala pada saat survey. Skor stres pasca trauma sangat berkorelasi positif dengan skor untuk depresi (r = 0,799, p < 0,001). Untuk depresi, dua belas peserta (40,0%) memenuhi ambang batas depresi (M = 15,50, SD = 12,42) pada saat survei. Perlu dicatat bahwa hanya 2 orang (6,6%) yang menunjukkan bahwa mereka tidak menderita gejala depresi. Oleh karena itu, 93% (n = 28) peserta mengalami setidaknya beberapa gejala depresi terkait dengan Harvey. Pada saat survei, 12 (40,0%) menyatakan mereka masih mengalami gejala depresi. Penelitian ini mengambil survey terhadap 30 jurnalis lokal yang meliput Badai Harvey. Hasilnya, sekitar 20% memiliki PTSD terkait badai dan 40% mengalami depresi.

Di dalam jurnal Keats & Buchanan (2013) menunjukkan bahwa pengalaman trauma jurnalis menempatkan mereka pada risiko stres traumatis sekunder (STS; Figley, 1995; Stamm, 1995), gangguan stres pascatrauma (PTSD; American Psychological Association [APA], 2000), dan jenis efek lainnya. seperti kelelahan kerja, depresi, dan kesulitan interpersonal (Backholm & Björkqvist, 2010; Collins, 2001; Kalter, 1999). Ada bukti penelitian kuat yang menunjukkan bagaimana jurnalis dipengaruhi oleh pekerjaan mereka, khususnya ketika meliput berita bencana, konflik perang, dan peristiwa traumatis lainnya. Wartawan dan jurnalis foto memang pada umumnya memahami bahwa menjadi tugas mereka untuk masuk ke dalam situasi trauma untuk melaporkan atau memotret apa yang terjadi, sehingga kisah peristiwa ini dapat tersampaikan kepada publik dan suara subjek dapat didengar. Namun, pada saat yang sama, kemampuan mereka untuk tetap tidak terluka, baik secara fisik maupun psikis, oleh peristiwa ini terkadang di luar kendali mereka, dan dampak pribadi dari pekerjaan mereka bisa menjadi signifikan.

Terakhir, pada studi literatur Tandoc & Takahashi (2018), disebutkan bahwa stres dan trauma telah menjadi bagian dari rutinitas jurnalis. Jurnalis juga manusia. Emosi dan kesejahteraan psikologis mereka juga dipertaruhkan ketika mereka meliput bencana alam. Beberapa penelitian menyelidiki faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat trauma dan stres yang dialami wartawan dalam meliput bencana. Sebuah survei terhadap jurnalis yang meliput tsunami Asia Tenggara pada bulan Desember 2004 menemukan bahwa mereka yang mendapat pengakuan tingkat rendah dari atasan dan rekan mereka dilaporkan mengalami lebih banyak gejala PTSD (Weidmann et al., 2008). Yang lain juga merekomendasikan metode pembekalan dan konseling bagi jurnalis yang berurusan dengan trauma (Dworznik, 2006). Dalam hal ini, jurnalis ialah sebagai responden pertama. Responden pertama secara rutin dihadapkan pada peristiwa traumatis, seperti melihat mayat atau orang yang dimutilasi, terpapar bahan dan penyakit beracun, dan menderita kurang tidur.

C. Stres Kerja

Stres kerja yang dialami pada jurnalis dapat bervariasi. Monteiro et al. (2016) menjabarkan beberapa penemuan, di antaranya:

1. Tuntutan peran

Bagaimana jurnalis berperan ketika di lapangan? Hal tersebut menjadi ambiguitas tersendiri bagi para jurnalis. Adanya persyaratan bahwa jurnalis harus multifaset dan mampu beradaptasi dengan tugas-tugas non-tradisional lainnya merupakan tuntutan yang konstan bagi para jurnalis. Sifat pekerjaan sebagai jurnalis pun berubah setiap hari. Oleh karena itu, jurnalis harus siap untuk mengubah perspektif dan persepsi mereka untuk terus beroperasi dan memenuhi tuntutan tugas yang baru. Selain itu, tuntutan lainnya yang tak kalah pentingnya ialah antara konflik pekerjaan-keluarga. Bagaimana ia membagi waktunya untuk bersama keluarga dengan pekerjaannya. Apalagi, ketika berkaitan dengan kebencanaan, keluarganya juga dapat menjadi salah satu penyintas atau justru korban jiwa yang kemudian menjadi konflik batin pada diri seorang jurnalis. Hal tersebut yang kemudian menimbulkan stress dan ketegangan pada jurnalis.

2. Tuntutan antar pribadi

Hal ini merujuk pada persaingan, keretakan, dan kepalsuan di antara rekan-rekan jurnalis, serta kurangnya etika dalam pengelolaan informasi dan fakta. Karakteristik pribadi professional (kepribadian dan profil workaholic) dapat dianggap menjadi pemicu stres lain untuk kinerja sempurna.

3. Krisis pada diri sendiri

Hal ini merujuk pada bagaimana jurnalis yang kemudian menghadapi tuntutan-tuntutan di atas yang kemudian menjadi konflik batin, yang dapat mengakibatkan pada depresi dan PTSD. Dari 28 studi yang dianalisism 24 (86%) berfokus pada simtomatologi dan psikopatologi seperti depresi, gangguan kecemasan, khususnya PTSD, konsumsi alkohol dan zat-zat lainnya, dan/atau burnout dan turnover yang tekait dengan ketidakpuasan professional. Ada kemungkinan bahwa para jurnalis perang dalam studi terakhir bahwa ia berulang kali dan parah terpapar situasi traumatis yang menyebabkan stres dan ketegangan yang berlebihan.

Pada penelitian lain, Dworznik-Hoak (2020) juga memaparkan adanya stresor organisasi yang berpengaruh terhadap stres kerja pada jurnalis. Stressor organisasi yang dimaksud adalah mencakup tuntutan peran, interpersonal, atau fisik, serta kebijakan tempat kerja dan kondisi kerja. Stresor organisasi yang paling sering disebutkan adalah durasi dan jenis cakupan bencana alam. Contohnya ialah ketika jurnalis merasa frustasi dengan cerita berulang tentang penyintas yang membersihkan rumah mereka saat merasa ada yang jauh lebih penting untuk diliput. Hal tersebut ditambah dengan paparan terus-menerus pada jenis cerita yang sama, tuntutan fisik dari jadwal yang tidak teratur juga memakan korban. Jumlah jam dan hari bekerja tanpa istirahat yang berarti dan kurangnya jadwal yang dapat diandalkan semuanya berkontribusi pada stres terkait organisasi yang signifikan.

Stresor organisasi yang paling sering kedua adalah terkait dengan peran jurnalis selama bencana. Jurnalis merasakan rasa tanggung jawab yang tinggi yang biasanya tidak dirasakan selama liputan berita harian. Jurnalis juga merasa stres terkait dengan kurangnya pengalaman meliput badai dan kurangnya arahan dari manajer ruang redaksi, sehingga mereka merasa kurang siap atau belum mampu untuk meliput badai yang terjadi.

D. Perbedaan Gender yang Rentan

Gender merupakan sebuah konstruksi sosial mengenai adanya peran antara laki-laki dan perempuan di dalam masyarakat (Herawati,2016). Dalam dunia jurnalis, terdapat perbedaan mengenai gender ini. Jurnalis perempuan biasanya akan menerima beberapa keringanan ataupun dispensasi pada beberapa kondisi atau keadaan. Menurut Sharfina, dkk (2021) dalam suatu situasi ataupun kondisi tertentu biasanya jurnalis perempuan akan diberikan beberapa keringanan dan menjalankan tugas mereka, seperti ketika meliput tentang kasus yang cukup berat seperti adanya pembunuhan, bencana alam maupun non-alam, pencurian, dan lain-lain, mereka akan diberikan dispensasi ataupun diberikan kebebasan jika ingin meliput hal tersebut atau tidak. Berbeda dengan jurnalislaki-laki di mana mereka diwajibkan untuk meliput berita dalam keadaan ataupun bidang apapun.

Selain adanya perbedaan dalam hal meliput berita, ternyata perbedaan gender ini juga terjadi pada kondisi jurnalis yang rentan mengalami psikopatologis. Dalam beberapa penelitian ditemukan jika jurnalis perempuan lebih rentang mengalami berbagai kondisi psikologis khususnya saat meliput bencana. Menurut Osmann, dkk (2021) terkait dengan peran gender dalam  pengembangan psikopatologis di kalangan jurnalis, ditemukan bahwa wanita memiliki tingkat kecemasan dan gangguan pada suasana hati yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan laki-laki. Mereka juga lebih mungkin untuk menderita gejala PTSD. Kemudian menurut Monteiro (2016) dalam hal perbedaan gender pada gejala burnout dan turnover pada jurnalis, ditemukan bajwa wanita menunjukkan adanya tingkat burnout yang lebih tinggi dan tingkat turnover yang lebih rendah dibandingkan dengan jurnalis pria. 


3. PENUTUP

Dari berbagai macam bencana yang mengakibatkan keadaan traumatis pada jurnalis seperti perang atau tsunami yang terjadi di berbagi negara, di Indonesia sendiri keadaan traumatis tersebut juga dapat di alami oleh para jurnalis seperti pada peristiwa tawuran, kericuhan, ataupun demonstrasi yang seringkali terjadi. Berbagai bencana yang sering terjadi di Indonesia ini tentunya juga turut memberikan berbagai tekanan pada jurnalis saat meliput berita. Salah satu penelitian yang dilakukan oleh Nurpadillah, dkk (2019) mengenai pandangan wartawan televisi mengenai peliputan kerusuhan aksi 22 Mei 2019 , menunjukkan bahwa selama peliputan peristiwa tersebut jurnalis mengalami berbagai kekerasan seperti penganiayaan, penghinaan, penyekapan, bahkan jurnalis juga mengalami tindakan intimidasi. Dari hal ini dapat diketahui bahwa jurnalis mengalami berbagai tindakan yang dapat menyakiti fisik maupun keadaan mental mereka, sehingga apabila jurnalis tidak memiliki pertahanan diri yang kuat maka mereka akan sangat rentan mengalami berbagai peristiwa psikopatologis.

Seperti yang sudah di jelaskan, sebagai jurnalis bencana ada berbagai hal yang harus diperhatikan saat melakukan peliputan bencana, seperti telah mengetahui mengenai mitigasi bencana, memiliki sikap empati, adanya persiapan yang matang,  dan juga yang terpenting adalah tetap menjaga diri dari adanya keretanan berbagai penyakit yang dapat terjadi saat peliputan bencana tersebut baik secara fisik maupun mental. 

Karena dari beberapa penelitian telah banyak ditemukan adanya berbagai keadaan psikopatologis yang dapat mengganggu jurnalis selama melakukan peliputan peristiwa bencana. Seperti adanya penurunan dalam kualitas hidup, mengalami gejala psikologis seperti PTSD dan depresi yang mungkin terjadi karena melakukan peliputan peristiwa dengan kasus yang berat, bahkan mengalami stress kerja yang dapat menurunkan kinerja dari jurnalis tersebut. Kemudian dari berbagai kondisi psikopatologis yang mungkin di alami oleh jurnalis, juga ditemukan bahwa jurnalis perempuanlah yang lebih rentan mengalami berbagai kondisi tersebut,

Oleh karena itu, sangat penting bagi seorang jurnalis untuk tetap berpegang pada aturan yang sudah ditetapkan, dan juga selalu memperhatikan berbagai hal saat melakukan peliputan suatu peristiwa khususnya pada kasus bencana alam maupun non-alam. Sehingga berbagai kondisi yang merugikan tersebut dapat dihindari. 

DAFTAR PUSTAKA

Dworznik-Hoak, G. (2020). Weathering the Storm: Occupational Stress in Journalists Who Covered Hurricane Harvey. Journalism Studies, 21(1), 88–106. https://doi.org/10.1080/1461670X.2019.1628659

Feinstein, A., Wanga, J., & Owen, J. (2015). The psychological effects of reporting extreme violence: a study of Kenyan journalists. JRSM Open, 6(9), 205427041560282. https://doi.org/10.1177/2054270415602828

Haryanto, I. (2016). Performa Media, Jurnalisme Empati, dan Jurnalisme Bencana: Kinerja Televisi Indonesia dalam Peliputan Bencana (Kasus Liputan TV One terhadap Hilangnya Air Asia QZ 8501). Ultimacomm: Jurnal Ilmu Komunikasi, 8(1), 77-89. https://doi.org/10.31937/ultimacomm.v8i1.818

Herawati, M. (2016). Pemaknaan gender perempuan pekerja media. Jurnal Kajian Komunikasi, 4(1), 85-95.

Keats, P. A., & Buchanan, M. J. (2013). Covering Trauma in Canadian Journalism: Exploring the Challenges. Traumatology, 19(3), 210–222. https://doi.org/10.1177/1534765612466152

Monteiro, S., Marques Pinto, A., & Roberto, M. S. (2016). Job demands, coping, and impacts of occupational stress among journalists: a systematic review. European Journal of Work and Organizational Psychology, 25(5), 751–772. https://doi.org/10.1080/1359432X.2015.1114470

Nurpadillah, L., Saepullah, U., & Muchtar, K. (2020). Pandangan Wartawan Televisi Pada Peliputan Kerusuhan Aksi 22 Mei. Medium: Jurnal Ilmiah Fakultas Ilmu Komunikasi, 8(1), 61-65.

Osmann, J., Dvorkin, J., Inbar, Y., Page-Gould, E., & Feinstein, A. (2021). The emotional well-being of journalists exposed to traumatic events: A mapping review. Media, War & Conflict, 14(4), 476-502.

Seely, N. (2019). Journalists and mental health: The psychological toll of covering everyday trauma. Newspaper Research Journal, 40(2), 239–259. https://doi.org/10.1177/0739532919835612

Starr, S. (2015). Civil war in syria: The psychological effects on journalists. Journal of Aggression, Conflict and Peace Research, 7(1), 57–64. https://doi.org/10.1108/JACPR-04-2014-0119

Tandoc, E. C., & Takahashi, B. (2018). Journalists are humans, too: A phenomenology of covering the strongest storm on earth. Journalism, 19(7), 917–933. https://doi.org/10.1177/1464884916657518


Post a Comment

0 Comments


SELAMAT DATANG DI SEMOGA ANDA PUAS