Oleh: Ghina Hanan Dafa mahasiswa ilmu politik universitas Andalas Padang
Partai politik secara umumnya memiliki fungsi sebagai jembatan penhubung antara masyarakat dan negara. Partai politik menjadi alat penyalur aspirasi, penyatu perbedaan yang ada, serta pengendalian konflik sosial yang melalui proses representasi dan kompromi dalam politik. Pada sistem demokrasi, partai berperan sebagai wadah dalam menyalurkan perbedaan kepentingan menjadi kebijakan yang terstruktur, bukan menjadi bahan pemicu perpecahan. Tetapi, dalam praktik kontemporer di negara ini, fungsi pengendalian konflik oleh partai politik ini sering kali tidak terealisasikan. Alih-alih meredam pergesekan sosial, partai acap kali menjadi alat yang memperkuat polarisasi dan politik identitas di Indonesia, terutama pada isu yang berbasis SARA (suku, ras, agama, dan antargolongan). Fenomena ini menunjukkan bahwa adanya ketidakselarasan fungsi partai dari alat integritas sosial menjadi aktor yang memperdalam perpecahan masyarakat.
Polarisasi di Indonesia tidak hanya sebatas perbedaan pandangan politik, namun juga dengan penguatan identitas sosial yang kaku dan ekslusif. Pada konteks ini, masyarakat semakin menunjukkan perpecahan yang terbagi ke dalam dua kutub yang bertolak belakang, khususnya pada isu ideologi. Menurut Afrimadona (2021), pada studi “voters are generally divided on political secularism and economic dimensions”, yang menandakan bahwa polarisasi politik di Indonesia tidak hanya mengenai permasalahan ekonomi, tetapi juga pada merncerminkan perbedaan mendasar pada nilai-nilai identitas dan keagamaan. Polarisasi seperti ini menjadi semakin jelas dalam momentum momentum electoral, seperti pemilihan kepala daerah atau bahkan presiden, yang dimana partai-partai politik lebih memilih memainkan isu identitas dibandingkan melakukan penawaran program yang rasional. Dalam laporan Communitarian Journal yang ditulis oleh Siahaan (2021), disebutkan bahwa politik identitas telah menyebabkan kerusakan yang nyata, merusak tenun kebangsaan pada Pilpres 2019. Pernyataan tersebut memperkuat pandangan bahwa partai-partai politik belum berhasil dalam menjalankan fungsi pengendalian politik. Alih-alih menjadi mediator yang bersifat netral, partai justru menjadi katalis polarisasi dengan memanfaatkan emosi sosial dan sentiment primordial untuk meraih dukungan electoral. Fenomena ini menunjukkan bagaimana partai kehilangan kemampuan untuk mengubah konflik menjadi kompromi dam justru membiarkan konflik tumbuh dalam ruang politik yang terbuka.
Kegagalan partai dalam mnegendalikan konflik juga berkaitan erat dengan lemahnya ideologi dan identitas politik di negara ini. Masyarakat umumnya terkait dengan identitas sosial, bukan identitas politik yang menjembatani keragaman yang ada di dalam masyarakat. Pandangan ini memperlihatkan bahwa masyarakat Indonesia belum memiliki keterikatan emosional yang kuat terhadap partai, karena partai partai itu sendiri gagal menanamkan basis ideologis yang tegak. Banyak partai memilih strategi pragmatis demi mnedapatkan keuntungan electoral jangka pendek yang bersifat sementara ini dengan memanfaatkan sentiment identitas. Strategi ini menunjukkan bagaimana logika electoral yang populis sering kali mengorbankan fungsi integrative partai. Selain itu, factor media sosial juga memiliki peran besar dalam memperkuat konlik identitas. Disinformasi dan ujaran kebencian yang menyebar dengan cepat juga memperkuat stereotip dan kebencian atar kelompok. Laporan Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Universitas Indonesia (2023) mencatat bahwa hoaks seperti ini mempunyai implikasi serius terhadap upaya menjaga kepercayaan publik terhadap institusi politik. Kebohongan seperti ini menyebabkan partai kehilangan fungsi mediasi, karena mereka ikut terbawa arus narasi identitas yang memecah belah publik. Elite partai yang terlibat dalam penyebaran isu sensitif tersebut bahkan selalu memanfaatkan media sosial sebagai sarana kampanye yang menonjolkan perbedaan agama, ras, dan kelompok yang semakin memperkeruh ketegangan sosial.
Dalam pandangan teori etnopolitik yang diperkenalkan oleh Donald L.Horowitz (1985), identitas etnis atau agama seelalu dijadikan sumber daya politik yang dapat dimobilisasi untuk kepentingan electoral. Di negara multicultural seperti negara kita, identitas sosial mempunyai daya pikat yang kuat dan mudah dimanfaatkan. Elit partai acap kali menggunakan identitas etnis dan agama sebagai alat menggalang suara, menjadikan identitas tidak lagi bagian dari kebanggaan kultural, melainkan komoditas politik. Sebagaimana yang disampaikan oleh Liddle dan Mujani (2019), politik identitas di negara ini, lebih banyaj terkait dengan isu ras, agama, ideologi, dan kepentingan lokal jika dibandingkan dengan isu-isu lain. Pada maknanya, identitas sosial telah menjadi modal politik yang efektif tetapi destruktif bagi integrasi nasional. Dalam praktiknya, partai politik di Indonesia bukan hanya gagal dalam menahan arus polarisasi, namun juga berkecimpung dalam proses itu sendiri. Strategi kampanye berbasis SARA, menggunakan symbol agama, retorika moralitas kelompok menjadi alat efektif untuk mengonsolidasi dukungan. Media massa dan media sosial semakin mengakkan situasi tersebut dengan memberi ruang bagi narasi provokatif. Dalam artikel opini di Kompas (Hidayat, 2023) disebutkan bahwa politik identitas berpotensi merusak fondasi kebangsaan dan mendorong ekslusivisme sosial. Pada jangka panjangnya, hal ini berpotensi menurunkan kualitas dliberasi public, sebab masyarakat akan semakin focus pada isu identitas daripada substansi kebijakan. Yang dimana hal ini menyebabkan ruang demokrasi menjadi dangkal, yang mana rasionalitas politik terganti oleh loyalitas emosional terhadap kelompok.
Untuk memperbaiki permasalahan ini, partai politik harus melakukan perubahan kelembagaan yang mendalam. Partai harus mempererat ideologi dan platform politiknya supaya mempunyai identitas politik yang seimbang dan berbasis pada kebijakan, bukan identitas sosial. Negara juga harus meperketat regulasi kampanye dan pengawasan terahadap penyebaran narasi SARA di ruang public. Di luar itu, prningkatan angka literasi politik dan media masyarakat menjadi penting supaya publik dapat membedakan antara isu substansif dan propaganda identitas. Upaya membangun partai dan kelompok masyarakat sipil juga diperlukan sebagai pemulihan terhadap kohesi sosial dan memperkuat rasa kebangsaan. Dengan ini, dapat disimpulkan bila kegagalan pada fungsi pengendalian konflik oleh partai politik ini, tepatnya di Indonesia berakar pada kombinasi antara pragmatism politik, lemahnya ideologi partai, dan instrumentalitas identitas. Politik identitas yang pada mulanya bersifat simbolik, kini telah berubah menjadi senjata politik yang menimbulkan keretakan sosial. Jika tidak ada perubahan yang serius terhadap system dan budaya politik, partai politik akan selalu menjadi percikan polarisasai, bukan menjadi solusi atas konflik sosial. Mengembalikan fungsi partai sebagai pengendali konflik tidak hanya kebutuhan pada system demokratis, melainkan juga syarat mutlak bagi keberlanjutan kehidupan berbansga dan bernegara yang lebih damai dan terstruktur.
































0 Comments