Ticker

6/recent/ticker-posts

Semangat Sumpah Pemuda dan Tantangan Generasi Milenial dalam Menjaga Keindonesiaan


Nama: Olifvia Putri Utami
Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia
Universitas Adzkia


Pendahuluan

Setiap tanggal 28 Oktober, bangsa Indonesia memperingati peristiwa monumental yang dikenal dengan nama Sumpah Pemuda. Peringatan ini bukan sekadar seremoni tahunan, tetapi sebuah ajakan untuk menengok kembali fondasi lahirnya bangsa Indonesia: semangat persatuan. Sumpah Pemuda yang diikrarkan pada tahun 1928 merupakan momentum historis ketika para pemuda dari berbagai latar belakang budaya, suku, dan bahasa bersatu dalam satu cita-cita luhur, yakni membangun Indonesia sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat. 

Peristiwa itu menjadi bukti bahwa pemuda memiliki posisi strategis dalam menentukan arah perjalanan sejarah bangsa.

Menurut sejarawan Sartono Kartodirdjo (1993), lahirnya Sumpah Pemuda bukanlah kebetulan atau peristiwa spontan. 

Ia merupakan hasil dari proses panjang kesadaran nasional yang tumbuh di tengah penderitaan akibat penjajahan. 

Kaum muda pada masa itu menyadari bahwa perpecahan kedaerahan merupakan penghambat utama dalam perjuangan kemerdekaan. 


Oleh sebab itu, semangat persatuan yang mereka lahirkan pada tahun 1928 menjadi fondasi ideologis bagi gerakan nasional berikutnya, hingga akhirnya bangsa Indonesia meraih kemerdekaan pada tahun 1945. Lebih jauh, Sumpah Pemuda merupakan bentuk ekspresi politik dari generasi intelektual yang sadar akan pentingnya identitas nasional. Mereka menolak sekat-sekat etnisitas dan memandang bahwa yang lebih penting adalah rasa kebersamaan sebagai bangsa Indonesia. 


Dalam konteks teori sosial, tindakan tersebut menggambarkan munculnya collective consciousness atau kesadaran kolektif sebuah kesadaran sosial bersama yang tumbuh dari pengalaman dan tujuan yang sama (Durkheim, 1984). Melalui kesadaran kolektif inilah, bangsa Indonesia mulai menata identitasnya di tengah keberagaman yang begitu luas.

Namun, nilai-nilai luhur yang terkandung dalam Sumpah Pemuda kini menghadapi tantangan baru. Arus globalisasi, kemajuan teknologi, serta derasnya informasi digital telah mengubah cara berpikir dan bertindak generasi muda. 


Persoalan kebangsaan kini bukan lagi tentang melawan penjajahan fisik, melainkan tentang bagaimana menjaga identitas nasional dalam pusaran budaya global yang serba cepat dan sering kali mengikis nilai-nilai lokal. Dalam kondisi ini, Sumpah Pemuda perlu dimaknai kembali agar tetap relevan dengan konteks zaman yang berubah, tanpa kehilangan esensi perjuangannya: semangat persatuan, kebangsaan, dan cinta tanah air.

Makna Historis dan Ideologis Sumpah Pemuda

Sumpah Pemuda terdiri atas tiga butir ikrar: satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa, yaitu Indonesia. Tiga butir tersebut menjadi simbol dari cita-cita nasionalisme yang berpijak pada kesadaran kolektif akan pentingnya persatuan. Menurut Yudi Latif (2011), Sumpah Pemuda adalah momentum di mana ide tentang “Indonesia” pertama kali diproklamasikan secara mental, jauh sebelum kemerdekaan diproklamasikan secara politik. Ia adalah “proklamasi kebangsaan,” yaitu kesadaran akan adanya satu entitas nasional yang menyatukan berbagai etnis, agama, dan budaya.

Sumpah Pemuda juga memiliki makna ideologis karena ia melahirkan tiga pilar kebangsaan yang hingga kini masih menjadi roh kehidupan nasional: tanah air sebagai ruang kehidupan bersama, bangsa sebagai identitas kolektif, dan bahasa Indonesia sebagai alat pemersatu.

 Dalam pandangan Benedict Anderson (2006), bangsa merupakan imagined community komunitas yang dibayangkan karena tidak semua anggotanya saling mengenal, tetapi mereka merasa terikat oleh rasa kebersamaan yang sama. Dalam konteks ini, Sumpah Pemuda menjadi titik awal bagi terbentuknya “komunitas imajiner” Indonesia yang bersatu karena kesamaan cita-cita, bukan kesamaan darah atau suku. Selain itu, Sumpah Pemuda menandai lahirnya kesadaran intelektual di kalangan generasi muda Indonesia. Mereka menyadari bahwa pendidikan dan pengetahuan merupakan senjata utama untuk melawan penjajahan dan kebodohan. Hal ini sejalan dengan pandangan Ki Hadjar Dewantara yang menyatakan bahwa “pendidikan adalah proses memanusiakan manusia muda.” Artinya, pendidikan harus menumbuhkan kesadaran kebangsaan dan rasa tanggung jawab sosial agar pemuda mampu menjadi agen perubahan dalam masyarakat (Tilaar, 2000).

Dengan demikian, Sumpah Pemuda bukan hanya momen sejarah, tetapi juga fondasi moral bagi bangsa Indonesia untuk terus menjaga keberagaman dalam bingkai persatuan. Ia adalah cerminan dari nilai-nilai universal: persaudaraan, toleransi, dan solidaritas sosial. Namun, untuk menjadikan nilai-nilai itu tetap hidup, generasi muda masa kini harus mampu menerjemahkannya ke dalam konteks modern yang lebih kompleks dan multidimensi.


Tantangan Generasi Muda di Era Digital

Dalam era globalisasi dan kemajuan teknologi informasi, semangat Sumpah Pemuda diuji dalam bentuk yang berbeda. Jika dahulu pemuda berjuang dengan bambu runcing dan pidato, maka kini perjuangan dilakukan melalui literasi digital, kesadaran kritis, dan partisipasi aktif dalam menjaga ruang publik dari disinformasi dan intoleransi. Menurut data Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo, 2024), penyebaran hoaks dan ujaran kebencian meningkat hampir 45% pada masa menjelang pemilu, dan sebagian besar penyebarnya adalah generasi muda yang kurang memiliki literasi digital yang memadai.

Fenomena ini menunjukkan bahwa semangat persatuan yang terkandung dalam Sumpah Pemuda masih rentan terhadap ancaman disintegrasi sosial. Media sosial yang seharusnya menjadi wadah untuk memperkuat solidaritas justru kerap dijadikan ruang untuk polarisasi dan pertentangan ideologis. Sosiolog R. William Liddle (2014) menyebut fenomena ini sebagai “krisis identitas nasional,” yaitu kondisi ketika warga negara kehilangan orientasi moral dan nasionalisme karena pengaruh budaya luar dan kepentingan politik yang dangkal.

Selain krisis identitas, tantangan lain adalah rendahnya rasa kepemilikan terhadap bangsa (sense of belonging). Banyak generasi muda yang merasa lebih dekat dengan budaya global dibandingkan budaya nasionalnya sendiri. Mereka lebih mengenal ikon luar negeri ketimbang pahlawan nasional, lebih bangga menggunakan bahasa asing daripada bahasa Indonesia. Kondisi ini dapat memunculkan jarak emosional antara generasi muda dan identitas nasional.

Namun, bukan berarti semangat kebangsaan di kalangan pemuda benar-benar hilang. Banyak anak muda Indonesia yang aktif dalam gerakan sosial, komunitas lingkungan, dan kegiatan literasi yang mencerminkan semangat Sumpah Pemuda dalam versi modern. Menurut Anies Baswedan (2013), pemuda memiliki “energi moral” yang besar untuk melakukan perubahan sosial, asalkan mereka diberikan ruang, kesempatan, dan pendidikan yang menumbuhkan nilai kemanusiaan dan nasionalisme. Artinya, tantangan digitalisasi tidak harus dilihat sebagai ancaman, tetapi juga sebagai peluang untuk mengaktualisasikan nilai-nilai Sumpah Pemuda melalui inovasi dan kreativitas.


Aktualisasi Nilai Sumpah Pemuda di Era Modern

Nilai-nilai Sumpah Pemuda sesungguhnya sangat relevan untuk menjawab berbagai tantangan sosial masa kini. Persatuan, kebangsaan, dan bahasa Indonesia masih menjadi pilar utama dalam memperkuat integrasi nasional. Aktualisasi nilai tersebut dapat dilakukan melalui berbagai cara. Misalnya, memperkuat pendidikan karakter di sekolah, membangun kesadaran literasi digital, serta mendorong kolaborasi lintas budaya di kalangan anak muda.

Ki Hadjar Dewantara menegaskan bahwa pendidikan harus mengarahkan manusia muda untuk menjadi warga negara yang memiliki kesadaran moral, intelektual, dan sosial (Tilaar, 2000). Dalam konteks ini, pendidikan bukan hanya mengajarkan pengetahuan akademik, tetapi juga menumbuhkan rasa cinta tanah air, menghargai perbedaan, dan memiliki tanggung jawab terhadap bangsa. Sekolah dan perguruan tinggi menjadi tempat strategis untuk menanamkan kembali semangat Sumpah Pemuda melalui kegiatan yang mendorong kolaborasi, empati, dan solidaritas sosial.

Selain pendidikan, media sosial juga dapat menjadi sarana efektif untuk menumbuhkan nasionalisme baru. Generasi muda dapat menggunakan teknologi untuk menyebarkan pesan-pesan positif, membangun narasi kebangsaan yang inklusif, serta mengkampanyekan toleransi dan keberagaman. Gerakan digital nationalism atau nasionalisme digital merupakan bentuk baru dari perjuangan pemuda modern. Mereka berjuang bukan dengan senjata, tetapi dengan ide, kreativitas, dan pengetahuan. Lebih jauh, bahasa Indonesia sebagai simbol pemersatu bangsa juga perlu dijaga di tengah gempuran globalisasi bahasa asing. Bahasa bukan sekadar alat komunikasi, melainkan identitas budaya yang mencerminkan kepribadian bangsa. Oleh karena itu, penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar di ruang digital merupakan bentuk nyata dari pengamalan Sumpah Pemuda.


Penutup

Sumpah Pemuda tahun 1928 adalah tonggak sejarah yang membuktikan bahwa kekuatan pemuda dapat mengubah arah bangsa. Ia lahir dari kesadaran untuk bersatu melampaui perbedaan dan menjadikan Indonesia sebagai rumah bersama. Dalam konteks modern, semangat tersebut tetap relevan, meskipun bentuk perjuangannya telah berubah. Jika dulu pemuda berjuang melawan penjajah, kini mereka berjuang melawan krisis moral, disinformasi, dan lunturnya identitas nasional. Maka dari itu, generasi muda Indonesia perlu memaknai kembali Sumpah Pemuda sebagai inspirasi untuk membangun bangsa yang berkarakter, berdaya saing, dan tetap menjunjung tinggi persatuan. 


Nilai-nilai 1928 harus dihidupkan kembali melalui pendidikan, media, dan tindakan sosial yang nyata. Sebagaimana kata Bung Karno, “Beri aku sepuluh pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia.” Kini, yang dibutuhkan bukan hanya sepuluh pemuda yang berani, tetapi jutaan pemuda yang berpikir kritis, berjiwa nasionalis, dan berintegritas dalam membangun Indonesia yang lebih maju dan beradab.


Post a Comment

0 Comments


SELAMAT DATANG DI SEMOGA ANDA PUAS