Gerakan mahasiswa di Indonesia merupakan salah satu kekuatan sosial yang memiliki pengaruh besar terhadap arah perubahan bangsa.
Sepanjang sejarahnya, mahasiswa sering dianggap sebagai kelompok kritis yang berani menyuarakan ketidakadilan dan menentang kekuasaan yang dianggap menindas.
Momentum paling monumental dari peran tersebut terjadi pada tahun 1998, ketika mahasiswa menjadi aktor utama dalam menumbangkan rezim Orde Baru yang telah berkuasa selama lebih dari tiga dekade.
Sejak saat itu, dinamika gerakan mahasiswa terus berkembang mengikuti perubahan sosial, politik, dan teknologi yang terjadi di Indonesia. Pada masa menjelang kejatuhan Soeharto, Indonesia dilanda krisis ekonomi yang parah akibat dampak krisis finansial Asia 1997.
Harga kebutuhan pokok melonjak, angka pengangguran semakin meningkat, dan kesenjangan sosial semakin terlihat jelas. Kondisi tersebut melahirkan kemarahan rakyat yang akhirnya menemukan saluran perjuangannya melalui gerakan mahasiswa.
Mereka menggelar aksi besar-besaran dengan tuntutan utama berupa reformasi total terhadap sistem pemerintahan.
Menurut Supriyanto dalam artikelnya pada tahun 2022, Gerakan Mahasiswa dalam Upaya Kejatuhan Pemerintah Soeharto 1998, mahasiswa pada masa itu menuntut penghapusan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), serta mendorong demokratisasi dalam kehidupan politik nasional. Aksi mereka memuncak pada peristiwa Mei 1998, ketika ribuan mahasiswa menduduki Gedung DPR/MPR dan mendesak Soeharto untuk mundur dari jabatannya. Menurut Jubaedah dalam artikel nya pada tahun 2019 peristiwa tersebut juga disertai dengan tragedi kemanusiaan seperti penembakan mahasiswa Trisakti yang menjadi simbol keberanian sekaligus pengorbanan generasi muda dalam memperjuangkan perubahan.
Setelah terjadi reformasi, gerakan mahasiswa tidak berhenti, tetapi mengalami transformasi yang signifikan. Jika sebelumnya fokus utama mereka adalah menggulingkan rezim otoriter, maka di era pasca 1998 orientasi gerakan lebih mengarah pada pengawasan terhadap kebijakan pemerintah dan penegakan nilai-nilai demokrasi. Mahasiswa mulai memperjuangkan isu-isu yang lebih beragam seperti pendidikan, lingkungan, kesetaraan gender, dan pemberantasan korupsi. Menurut M. Fajar Shodiq. R dan M. Faisal. Aminuddin dalam Student Activism in Post-Authoritarian Indonesia pada tahun 2025 , gerakan mahasiswa pasca reformasi cenderung lebih plural dan adaptif. Mereka tidak hanya menggunakan aksi turun ke jalan, tetapi juga membangun jaringan dengan lembaga masyarakat sipil dan memanfaatkan teknologi digital sebagai media perjuangan. Kemunculan media sosial menjadi babak baru dalam sejarah gerakan mahasiswa. Melalui platform seperti Twitter dan Instagram, mahasiswa mampu menyebarkan informasi, membentuk opini publik, dan mengorganisir massa secara lebih cepat. Aksi “Gejayan Memanggil” di Yogyakarta pada tahun 2019 menjadi contoh nyata bagaimana media digital menjadi alat mobilisasi efektif. Berdasarkan penelitian Savirani dalam Journal of Governance pada tahun 2023, lebih dari setengah peserta aksi tersebut bergabung karena pengaruh kampanye daring. Isu-isu yang diangkat pun lebih kontekstual, seperti penolakan terhadap RKUHP, RUU KPK, dan kebijakan pemerintah yang dianggap tidak berpihak pada rakyat. Meski begitu, gerakan mahasiswa di era modern juga menghadapi berbagai tantangan. Fragmentasi antar organisasi mahasiswa sering kali membuat gerakan kehilangan kekuatan kolektifnya. Sebagian kelompok mahasiswa bahkan mulai terjebak dalam politik praktis yang mengaburkan posisi mereka sebagai kekuatan moral. Menurut penelitian Fithroyatirrizqoh dalam Jurnal Ilmiah Wahana Pendidikan pada tahun 2024, banyak aksi mahasiswa yang kehilangan arah karena tidak memiliki basis ideologis yang kuat. Selain itu, represi dari aparat keamanan terhadap aksi-aksi protes juga masih menjadi ancaman serius bagi kebebasan berpendapat.
Di sisi lain, sebagian mahasiswa kini mulai mengalami penurunan minat terhadap aktivisme sosial karena terpengaruh gaya hidup individualistik dan orientasi karier. Meskipun menghadapi banyak tantangan, semangat kritis mahasiswa tetap menjadi bagian penting dari dinamika demokrasi Indonesia. Mahasiswa masa kini mungkin tidak lagi bergerak dengan cara yang sama seperti tahun 1998, namun esensi perjuangan mereka tetap sama yakni memperjuangkan keadilan sosial dan menjadi penyeimbang kekuasaan. Seperti yang dikemukakan Elis dalam artikelnya pada tahun 2022, Gerakan Mahasiswa dalam Pusaran Tiga Orde Kekuasaan: Antara Gerakan Moralis dan Politis, mahasiswa memiliki posisi unik sebagai penjaga moral bangsa sekaligus agen perubahan yang mampu memengaruhi arah kebijakan publik. Oleh karena itu, selama masih ada ketimpangan, penyalahgunaan kekuasaan, dan krisis keadilan, gerakan mahasiswa akan selalu relevan dan dibutuhkan dalam menjaga semangat reformasi.
Selaras dengan pembahsan mengenai turunnya minat mahasiswa terhadap kegiatan aktivisme mahasiswa kami mewawancarai sodara yodra sebagai mantan presiden mahasiswa universitas andalas (BEM KM UNAND) mengatakan “Dulu tahun 1998 diskusinya kuat, teman-teman peka terhadap isu. Sekarang banyak yang apatis, kurang berdiskusi, baru peduli kalau isu sudah viral” Pernyataan tersebut menggambarkan adanya pergeseran mendasar dari orientasi gerakan mahasiswa yang dulunya berbasis kesadaran ideologis dan intelektual, menjadi reaktif terhadap arus informasi digital. Pada era 1998, mahasiswa membangun kesadaran melalui forum-forum diskusi, kajian ilmiah, dan perdebatan ideologis yang intens. Diskursus seperti itu menjadi wadah pembentukan karakter kritis dan solidaritas gerakan. Sebaliknya, mahasiswa masa kini lebih banyak dipengaruhi oleh dinamika media sosial, di mana isu baru menarik perhatian apabila memperoleh eksposur luas di ruang digital. Dalam wawancara, yodra juga mengatakan bahwa mahasiswa memiliki peran besar dalam menjaga dinamika demokrasi. Ia menyebut, “Mahasiswa punya peran besar dalam dinamika sosial dan pengawasan demokrasi (check and balance). Saat kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif bersatu, mahasiswa menjadi penyeimbang melalui peran ideologis dan intelektualnya.” Pernyataan ini menunjukkan kesadaran akan fungsi mahasiswa sebagai moral force dan intellectual opposition. Dalam sistem demokrasi yang sehat, kekuasaan seharusnya saling mengontrol dan menyeimbangkan. Namun, ketika tiga pilar kekuasaan tersebut mengalami konsolidasi seperti yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir peran mahasiswa menjadi semakin penting sebagai penjaga independensi demokrasi. Hal ini sejalan dengan pandangan Elis (2022), yang menyatakan bahwa mahasiswa merupakan “penjaga moral bangsa” yang berfungsi sebagai penyeimbang terhadap oligarki politik.
Beliau juga menyinggung mengenai tantangan internal dan ekternal mengenai gerekan mahasiswa ia menegaskan “Tantangan utama adalah kurangnya kepedulian dan kepekaan. Banyak mahasiswa tidak ikut aksi atau diskusi. Tantangan eksternal seperti pengawasan aparat memang ada, tapi masalah internal (minat rendah) lebih mendasar.” Pernyataan ini menunjukkan bahwa degradasi semangat aktivisme di kalangan mahasiswa lebih disebabkan oleh faktor psikologis dan kultural. Budaya kompetitif, tuntutan akademik, serta orientasi karier membuat mahasiswa kehilangan waktu untuk berorganisasi dan berdiskusi. Terakhir beliau juga memberikan pesan reflektif “Mahasiswa harus peduli, peka, dan aktif berorganisasi. Jadilah subjek, bukan objek gerakan. Mulai dari hal kecil dan manfaatkan masa kuliah untuk berproses, karena perubahan besar dimulai dari langkah kecil di kampus.”Pentingnya kesadaran individual dan kolektif mahasiswa dalam membangun perubahan sosial. Dalam perspektif pendidikan kritis ala Paulo Freire, mahasiswa harus menjadi subjek transformasi, bukan objek sistem. Artinya, perubahan sosial tidak hanya lahir dari demonstrasi besar, tetapi juga dari proses pembelajaran
Dari Hasil wawancara tersebut dapat disimpulkan bahwa kondisi gerakan mahasiswa Indonesia saat ini mengalami pergeseran yang cukup mendasar dibandingkan dengan era reformasi 1998. Pergeseran tersebut tidak hanya tampak pada bentuk gerakan, tetapi juga pada orientasi dan kesadaran ideologis mahasiswa itu sendiri. Yodra menyoroti bahwa pada masa 1998, mahasiswa memiliki tingkat kepekaan sosial dan semangat intelektual yang tinggi. Forum-forum diskusi, kajian ilmiah, serta perdebatan ideologis menjadi ruang bagi mahasiswa untuk mengasah kesadaran kritis dan membangun solidaritas gerakan. Namun, di era modern yang dipengaruhi perkembangan teknologi digital, orientasi tersebut bergeser menjadi lebih pragmatis dan reaktif terhadap isu-isu viral di media sosial.
Fenomena ini menunjukkan bahwa minat mahasiswa terhadap aktivisme sosial-politik mengalami penurunan. Aktivisme yang sebelumnya dibangun di atas kesadaran ideologis kini cenderung bersifat temporer, tergantung pada popularitas isu di ruang digital. Akibatnya, nilai-nilai dasar seperti kepekaan, tanggung jawab sosial, dan semangat kolektif mulai terkikis oleh budaya individualistik dan orientasi karier. Dalam konteks ini, degradasi semangat aktivisme bukan semata disebabkan oleh faktor eksternal seperti represi atau pengawasan aparat, tetapi lebih disebabkan oleh faktor internal mahasiswa itu sendiri seperti rendahnya kepedulian, tekanan akademik, dan lemahnya minat berorganisasi.
Meski begitu, beliau tetap menegaskan bahwa mahasiswa memiliki peran penting dalam menjaga keseimbangan demokrasi. Menurutnya, mahasiswa merupakan bagian dari kekuatan moral (moral force) dan oposisi intelektual (intellectual opposition) yang berfungsi sebagai penyeimbang dalam sistem demokrasi. Ketika tiga pilar kekuasaan negara eksekutif, legislatif, dan yudikatif berpotensi berkoalisi dan kehilangan fungsi kontrol, mahasiswa harus hadir sebagai suara kritis untuk menegakkan prinsip check and balance. Hal ini sejalan dengan pandangan Elis (2022) yang menyebut mahasiswa sebagai “penjaga moral bangsa” yang berfungsi untuk menahan laju oligarki politik dan penyalahgunaan kekuasaan.
Selain menyoroti peran demokratis mahasiswa, Yodra juga menekankan pentingnya pembenahan dari dalam diri mahasiswa itu sendiri. Ia menyebut bahwa “tantangan utama adalah kurangnya kepedulian dan kepekaan,” menandakan bahwa revitalisasi gerakan mahasiswa harus dimulai dari kesadaran individu dan budaya organisasi yang sehat. Reformasi moral dan intelektual di lingkungan kampus menjadi syarat utama agar gerakan mahasiswa kembali memiliki kekuatan dan arah perjuangan yang jelas.
Sebagai penutup, beliau memberikan pesan reflektif yang memiliki makna mendalam: mahasiswa harus menjadi subjek, bukan objek gerakan. Pesan ini menegaskan bahwa perubahan sosial tidak semata lahir dari demonstrasi besar atau aksi turun ke jalan, tetapi juga dari proses pembelajaran, diskusi, dan keterlibatan aktif dalam kehidupan kampus. Dalam pandangan Paulo Freire, mahasiswa sebagai subjek transformasi berarti memiliki kesadaran kritis untuk membaca realitas sosial dan berani mengubahnya. Dengan demikian, mahasiswa tidak hanya berperan sebagai penonton dalam dinamika bangsa, tetapi sebagai aktor utama yang membawa semangat perubahan dari ruang akademik menuju ruang publik
.
DAFTAR PUSTAKA
Elis, Mardianti. (2022). Gerakan Mahasiswa Dalam Pusaran Tiga Orde Kekuasaan: Antara Gerakan Moralis Atau Gerakan Politis. Jurnal Politik Dan Pemerintahan, 2(2), 82–103. https://doi.org/10.22225/politicos.2.2.2022.82-103
Fithroyatirrizqoh, Natasyah Aliyah Zhatany. (2024). Mengkaji Keefektifan Gerakan Mahasiswa dalam Mendorong Perubahan Kebijakan Pemerintah Melalui Demonstrasi. Jurnal Ilmiah Wahana Pendidikan, 10, 491–504.
Jubaedah, Siti. (2019). Gerakan Mahasiswa (Kajian Tentang Peranan Mahasiswa Universitas Trisakti Pada Mei 1998 Dalam Proses Pergantian Kekuasaan Orde Baru). Criksetra: Jurnal Pendidikan Sejarah, 8(2), 18–40. https://doi.org/10.36706/jc.v8i2.9245
M. Fajar Shodiq. R & M. Faisal. Aminuddin. (2025).
Student Activism In Post-Authoritarian Indonesia: Higher Education Reform, Movement Dynamics, And Shifting Political Narratives. JWP (Jurnal Wacana Politik), 10(3), 313–327.
Savirani, Amalinda. (2023). University Curricula and Student Movement in Indonesia: “Gejayan Memanggil” Protest in Yogyakarta. Journal of Governance, 8(3). https://doi.org/10.31506/jog.v8i3.20904
Supriyanto. (2022). Gerakan Mahasiswa Dalam Upaya Kejatuhan Pemerintah Soeharto 1998. Jurnal Impresi Indonesia (JII), 1(2), 2003–2005.
































0 Comments