Ticker

6/recent/ticker-posts

Kasus Suap dan Gratifikasi: Bobrok Sistem Peradilan di Indonesia

Oleh : Tessa Agustina Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Andalas



Sistem peradilan yang adil dan bebas dari praktik korupsi merupakan salah satu pilar utama dalam membangun fondasi negara yang demokratis dan berkehidupan baik. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia menghadapi tantangan besar terkait suap dan gratifikasi yang menggerogoti kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan. Kasus-kasus suap dan gratifikasi bukan hanya mencoreng citra sistem peradilan, tetapi juga menimbulkan dampak negatif yang luas bagi kehidupan sosial, ekonomi, dan politik di Indonesia.

Suap adalah tindakan memberikan sesuatu, baik dalam bentuk uang maupun barang, kepada pejabat publik dengan tujuan untuk memengaruhi kebijakan atau keputusan yang diambil oleh pejabat tersebut. Sementara gratifikasi lebih luas lagi, mencakup pemberian hadiah atau imbalan kepada pegawai negeri sebagai bentuk penghargaan atau rasa terima kasih yang dapat berpotensi memengaruhi objektivitas dalam menjalankan tugas.

Dalam konteks sistem peradilan, suap dan gratifikasi menjadi bencana yang menodai integritas hakim, jaksa, dan aparat penegak hukum lainnya. Ketika keadilan dapat dibeli, ketidakadilan pun akan tumbuh subur.

Beberapa kasus suap dan gratifikasi yang mencuat ke permukaan telah menjadi sorotan publik. Salah satu yang paling terkenal adalah kasus suap yang melibatkan mantan pejabat Mahkamah Agung (MA), Zarof Ricar, yang pada Oktober 2024 ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) setelah terbukti menjadi perantara pemufakatan jahat terhadap putusan kasasi Gregorius Ronald Tannur, anak politikus PKB Edward Tannur yang didakwa menganiaya dan membunuh kekasihnya, Dini Sera Afrianti. Kasus ini tidak hanya mengungkap praktik curang dalam proses penegakan hukum, tetapi juga melemahkan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan.

Selain itu, kasus gratifikasi yang melibatkan sejumlah hakim di pengadilan negeri dan pengadilan tinggi juga menunjukkan adanya pola buruk dalam sistem peradilan. Beberapa hakim terlibat dalam skandal di mana mereka menerima gratifikasi untuk memutuskan perkara dengan cara yang menguntungkan pihak tertentu. Hal ini menciptakan kesan bahwa hukum dapat dimanipulasi, dan keadilan menjadi angin surga yang sulit dijangkau.

Praktik suap dan gratifikasi dalam sistem peradilan berdampak luas terhadap masyarakat. Pertama-tama, ini mengakibatkan hilangnya kepercayaan publik terhadap lembaga penegakan hukum. Ketika masyarakat merasa bahwa keputusan hukum dapat dibeli, mereka cenderung meragukan keadilan sistemik dan lebih memilih untuk menyelesaikan masalah secara informal. Keadaan ini berpotensi meningkatkan tindakan vigilante dan menciptakan suasana ketidakpastian hukum.

Kedua, suap dan gratifikasi menyebabkan ketidakadilan yang berlarut-larut. Mereka yang memiliki sumber daya untuk memberikan suap dapat memperoleh kelebihan, sementara mereka yang tidak mampu terjebak dalam sistem yang sangat merugikan. Ini menciptakan jurang kesenjangan sosial yang semakin melebar, di mana orang-orang berduit dapat melindungi diri dari hukum, sementara orang-orang yang kurang beruntung tidak mendapatkan perlindungan yang sama.

Untuk mengatasi masalah ini, berbagai upaya telah dilakukan. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi garda terdepan dalam memberantas praktik korupsi, termasuk suap dan gratifikasi di sektor peradilan. KPK telah melakukan penyelidikan, penangkapan, dan penuntutan terhadap sejumlah pejabat dan hakim yang terlibat dalam praktik korupsi. Meski demikian, tantangan tetap ada, termasuk adanya resistensi internal dalam sistem peradilan itu sendiri. Pendidikan dan pelatihan yang berfokus pada etika serta integritas hendaknya menjadi bagian dari kurikulum bagi para calon hakim dan pegawai negeri. Selain itu, transparansi dalam proses peradilan perlu ditingkatkan melalui penggunaan teknologi yang mendukung akuntabilitas.

Kasus suap dan gratifikasi yang terjadi di sistem peradilan Indonesia menunjukkan betapa bobroknya keadaan yang ada. Kejadian-kejadian tersebut tidak hanya merusak citra lembaga penegak hukum, tetapi juga mengancam kestabilan sosial dan moralitas masyarakat. Untuk memperbaiki keadaan, dibutuhkan komitmen kuat dari semua pihak, baik pemerintah, lembaga peradilan, maupun masyarakat dalam memberantas praktik korupsi. Hanya dengan kolaborasi dan kesadaran bersama, sebuah sistem peradilan yang adil dan bersih dari korupsi dapat terwujud, sehingga kepercayaan publik terhadap hukum dapat dipulihkan dan ditegakkan.




Ref: Herasmaranindar, P. (2024, November 4). Jejak Para Makelar Kasus di MA. Retrieved December 3, 2024

Post a Comment

0 Comments


SELAMAT DATANG DI SEMOGA ANDA PUAS