Ticker

6/recent/ticker-posts

PTSD dan Intervensi pada Anak Korban Bencana di Indonesia

foto artikel 


Artikel ini ditulis oleh:


Siti Aisyah (1810321021)

Dwina Huriyatul Huda (1810322009)

Afifa Zakyah Zulfa (1810323011)

Miftahatun Najaah (1810323012)



Indonesia sebagai salah satu negara yang rawan bencana baik itu bencana alam maupun bencana non alam. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Indonesia melaporkan bahwa telah terjadi bencana alam sebanyak 2.208 kejadian dari bulan Januari 2021 hingga bulan Oktober 2021 baik itu dengan kategori bencana kecil, sedang, maupun besar (Badan Nasional Penanggulangan Bencana, 2021). Dari beberapa bencana alam yang terjadi di Indonesia selama tahun 2021, yang paling dominan adalah bencana banjir. Dari tahun ke tahun, permasalahan bencana yang melanda Indonesia juga tak pernah reda. Selain dari banjir, sering juga terjadi bencana lainnya seperti tanah longsor, gempa bumi, kebakaran hutan, angin puting beliung, dan berbagai bencana lainnya Berbagai bencana alam ini juga ada beberapa faktor penyebabnya diantaranya gempa bumi yang bisa saja terjadi karena pergeseran lempeng, banjir karena meluapnya air sungai, tanah longsor karena kondisi tanah yang gundul sehingga tidak dapat menampung air hujan, dan berbagai penyebab lainnya.


Di Indonesia, bencana alam kerap kali dianggap sebagai hukuman dari sang pencipta. Bencana terjadi karena dosa-dosa yang disebabkan oleh orang-orang yang telah melanggar aturan-Nya. Lebih lanjut, Ibu Sri Lestari (dalam Kumara & Susetyo, 2008) menjelaskan bahwa bencana di Indonesia terjadi karena masyarakat yang sudah tidak mengormati tradisi leluhur, tradisi tersebut dianggap sebagai sesuatu yang musyrik karena tidak lagi sesuai dengan perkembangan zaman. Kepercayaan terhadap takdir juga sering dijadikan sebagai bentuk penerimaan masyarakat setelah terjadi bencana, sikap sabar dan yakin pada masyarakat telah menjadi salah satu staretgi coping mereka dalam menghadapi bencana. Berbeda dengan kepercayaan masyarakat lainnya, Darusuoraopta (dalam Kumara & Susetyo, 2008) menemukan bahwa strategi coping masyarakat Jawa lebih dituangkan pada budaya setempat, yaitu mengingat pesan moral yang dimuat dalam dongeng tradisional serta ungkapan sehari-hari untuk selalu bersyukur terhadap permasalahan yang sedang terjadi. Hal ini selaras dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Kumaran dan Susetyo (2008) pada masyarakat Jogja, ditemukan bahwa sekita 70% subjek melakukan coping melalui pallaiative action dan borative coping. Pallaiative action yaitu masyarakat mengucapkan ayat-ayat untuk mendekatkan diri kepada Tuhan supaya memperoleh ketenangan dan ketentraman sehingga mereka merasa mampu untuk mengontrol diri saat kondisi bencana terjadi. Sedangkan borative coping adalah strategi coping dengan cara yakin bahwa Tuhan ada bersama mereka. 


Selain faktor penyebab timbulnya bencana, juga ada dampak yang akan ditimbulkan dari bencana tersebut. Dampak yang timbul karena bencana ini bisa terjadi dalam jangka pendek maupun berkelanjutan hingga dalam jangka waktu yang relatif lama. Semua itu tergantung dengan besar kecilnya dampak yang dirasakan dari berbagai bencana yang dialami tersebut. Dampak yang dirasakan pun tidak hanya terjadi pada para korban, akan tetapi masyarakat lainnya juga ikut merasakan dampak dari peristiwa bencana tersebut. Dampak-dampak tersebut diantaranya korban jiwa, kerusakan fisik, kerugian materi, dan yang juga tak kalah penting adalah yang berkaitan dengan kondisi psikologis korban yang selamat dari bencana tersebut. Psikologis mereka akan terguncang sehingga menimbulkan trauma bagi individu-individu tersebut. Ada banyak peristiwa yang dapat menimbulkan trauma bagi seseorang seperti bencana alam (banjir, gempa bumi, tsunami) dan juga bencana buatan yang terjadi karena adanya campur tangan manusia. Peristiwa traumatis inilah yang akan menyebabkan seseorang mengalami PTSD (Post Traumatic Stress Disorder). Resiko timbulnya gejala PTSD untuk korban bencana alam biasanya lebih sedikit daripada bencana yang disebabkan karena ulah manusia (Cheng et al., 2018).

Post Traumatic Stress Disorder (PTSD merupakan salah satu gangguan mental yang disertai dengan stress akibat peristiwa yang mengakibatkan trauma (Li et al., 2020). Gejala PTSD ini biasanya sering terjadi beriringan dengan gangguan kejiwaan lainnya seperti fobia, fobia sosial, simple phobia, generalized anxiety disorder, dan juga panic disorder. Selain itu, beberapa penelitian menyebutkan bahwa gangguan PTSD ini juga berkaitan dengan depresi. Kondisi yang trauma dari individu tersebut jika dibiarkan terus menerus bisa saja menimbulkan gangguan psikologis lainnya. Ingatan terhadap peristiwa yang menyebabkan kesedihan mendalam menyaksikan bencana yang terjadi dan juga kehilangan orang-orang terdekat membuat rasa trauma semakin bertambah besar.


Dalam DSM-V gejala dari Post Traumatic Stress Disorder dikategorikan menjadi empat, yaitu: (1) Peristiwa traumatis yang mengganggu terulang kembali, biasanya terjadi di dalam mimpi dan ingatan yang berulang terkait peristiwa menyakitkan yang pernah dialami. (2) Menghindari rangsangan yang terkait dengan peristiwa traumatis, individu tersebut tidak ingin berada di tempat kejadian serta  tidak ingin mengingat setiap hal yang berkaitan dengan peristiwa traumatis tersebut. (3) Munculnya tanda-tanda lain dari mood serta perubahan kognitif peristiwa traumatis terjadi, hal ini mencakup ketidakmampuan individu dalam mengingat aspek-aspek penting dari peristiwa traumatis yang terjadi pada individu tersebut. (4)  serta munculnya peningkatan perilaku mudah tersinggung atau agresif hal ini mencakup seperti sulit tidur atau sering tidur; sulit berkonsentrasi; dan kewaspadaan serta rasa terkejut yang berlebihan. 


Beberapa kelompok yang rentan mengalami trauma pasca bencana ini diantaranya adalah anak-anak, perempuan, dan lansia. Anak-anak pada masa ini berada pada masa pertumbuhan dan perkembangan yang penting. Selain itu, pada masa kanak-kanak dan remaja merupakan tahap di mana seorang anak mempersiapkan dirinya untuk ke tahap berikutnya yaitu masa dewasa. Anak-anak yang mengalami trauma pasca trauma ini salah satunya disebabkan karena mereka belum sepernuhnya kemampuan coping  sehingga mereka lebih rentan mengalami masalah mental pasca peristiwa traumatis seperti bencana (Cheng et al., 2020). Hubungan anak dengan orang tua juga ikut mempengaruhi bagaimana seorang anak mampu menghadapi lingkungannya dan penyelesaian terhadap berbagai masalah yang dihadapi di luar lingkungan keluarga. Apalagi untuk usia anak-anak, ia memerlukan perlindungan dan perhatian dari orang-orang terdekatnya. Jika hubungan dan komunikasi antara anak dan anggota keluarganya kurang, maka kemampuan untuk mengatasi permasalahan pun juga ikut memperngaruhi bagaimana anak selayaknya bersikap dan bertindak. Untuk anak-anak yang mengalami trauma, mereka memerlukan perhatian lebih dan juga perlindungan dari keluarganya untuk bisa bangkit kembali.


Anak-anak yang tertimpa bencana rentan terkena PTSD dikarenakan mereka masih dalam tahap perkembangan sehingga belum mampu untuk berfungsi dengan sempurna. Adapun penyebab dari Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) ini ialah sifat dari trauma yang menyangkut keparahan dan jenis masalah trauma serta faktor neurobiologis dari hipokampus dan hormon. Tidak semua orang-orang yang pernah terpapar trauma akan mengalami Post Traumatic Stress Disorder. Sebagian besar orang yang mengalami atau terpapar langsung dengan trauma paling parah lebih besar kemungkinan untuk mengembangkan Post Traumatic Stress Disorder. Dalam bencana orang yang berkemungkinan paling besar mengalami Post Traumatic Stress Disorder ialah korban yang melihat secara langsung keluarganya atau orang lain kehilangan nyawa karena bencana tersebut, mengalami disfungsi baik fisik maupun psikis yang disebabkan oleh bencana tersebut, anak-anak yang terpisah dari orang tuanya setelah bencana terjadi, dan kejadian lainnya. Jika anak-anak atau orang dewasa tidak ditindak segera setelah terjadi bencana maka hal ini dapat mengakibatkan kecemasan yang dirasakan oleh korban maupun penyintas bencana menjadi lebih parah dan memicu terjadinya Post Traumatic Stress Disorder. Penyebab berikutnya berasal dari faktor neurobiologis yakni berkaitan dengan bagian otak hipokampus dan juga hormon. Hal ini diketahui dari hasil penelitian pada orang kembar. Penelitian tersebut menemukan bahwa orang yang memiliki volume hipokampus lebih kecil dari ukuran rat-rata, maka orang tersebut lebih memungkinkan mengalami Post Traumatic Stress Disorder jika terpapar dengan suatu kondisi yang sangat membahayakan orang tersebut.  Selain itu, faktor risiko dari PTSD ini banyak yang tumpang tindih dengan faktor risiko dari gangguan kecemasan lainnya, sehingga PTSD sangat memungkinkan untuk memiliki komorbiditas yang mengikutinya. 


Post Traumatic Stress Disorder yang tidak ditangani dengan tepat oleh ahlinya akan berakibat buruk bagi penderitanya, bahkan penderitanya menjadi tidak bisa berfungsi dengan baik dalam hidup bermasyarakat. Beberapa efek atau akibat dari Post Traumatic Stress Disorder bagi anak-anak penderitanya ialah mereka beresiko tinggi untuk melukai dirinya sendiri (self-harm) dan menyakiti orang lain karena agresi yang terbentuk dalam dirinya pasca terjadinya bencana. Anak-anak dengan Post Traumatic Stress Disorder delapan kali lebih tinggi kemungkinan untuk melukai dirinya dibandingkan dengan anak yang tidak menderita PTSD. Bahkan dari hasil penelitian diketahui pula bahwasannya anak-anak yang menderita Post Traumatic Stress Disorder memungkinkan melakukan percobaan bunuh diri sepuluh kali lebih tinggi dibandingkan anak-anak yang tidak menderita PTSD. Selain itu, dikarenakan anak-anak yang menderita PTSD setelah terpapar bencana memungkinkan untuk membentuk sikap agresi dalam dirinya sehingga ditemukan catatan pelanggaran kekerasan tiga kali lebih tinggi dibandingkan anak-anak yang tidak menderita gangguan ini. Efek lain dari anak yang mengalami Post Traumatic Stress Disorder diantaranya sulit bergaul dan berkomunikasi dengan orang lain, sulit berkonsentrasi, mengalami gangguan tidur, mudah terserang panik dan lain sebagainy. Efek atau akibat dari Post Traumatic Stress Disorder pada anak ini dapat dikurangi dan dihindari dengan dilakukannya intervensi dan juga pengawasan yang ketat dari orang-orang terdekat seperti orang tua, pengasuh atau caregiver, maupun keluarga lainnya serta pengawasan dari tenaga ahli seperti psikolog dan psikiater. Apalagi di usia anak-anak ini maka intervensi yang diberikan akan lebih besar kemungkinannya untuk berhasil mengurangi kecemasan yang dirasakan oleh anak pasca terjadinya bencana yang menimpanya.


Berdasarkan hasil data WHO pada tahun 2017 (dalam Ridho, 2020) ditemukan bahwa per 100.000 populasi hanya sekitar 2,52% pekerja kesehatan mental, 0,31% psikiater dan 0,17% relawan atau pekerja sosial yang bekerja di bidang kesehatan mental di Indonesia. Oleh karena itu, pemberian intervensi yang tepat merupakan tantangan bagi para psikolog maupun psikiater yang terbatas untuk membantu memulihkan kejiwaan korban bencana alam sehingga kualitas hidupnya bisa pulih bahkan meningkat pasca bencana. Sebelum melakukan intervensi, terdapat cara untuk mendeteksi psikopatologi terkait trauma anak agar bisa memberikan intervensi yang tepat. Dari data penelitian terdahulu, hanya 20% anak-anak yang terpapar trauma yang mencari ibantuan dari dokter umum atau praktisi kesehatan mental, dan hanya 105 yang mengakses layanan kesehatan mental atau mungkin masih salah dalam diagnosis serta tidak diobati secara memadai karena kurangnya pelatihan dalam gangguan terkait trauma. Setidaknya ada empat langkah penting dalam meningkatkan deteksi psikopatologi anak yang terpapar trauma menurut Danese et. Al (2020). Pertama, meningkatkan pemahaman tentang hambatan penggunaan layanan kesehatan. Beberapa yang berkaitan dengan anak, seperti trauma psikologis seperti penghindaran, motivasi rendah, keputusasaan, ketidakpercayaan. Hambatan lain berupa hubungan dengan orang tua atau pengasuh, seperti penyembunyian trauma anak secara sengaja oleh orang tua karena takut disalahkan atau takut anak akan diambil oleh layanan perlindungan anak. Selain itu, stigma seputar penyakit mental, dan hambatan struktural (seperti kurangnya asuransi, akses, atau transportasi). Kedua, mengurangi hambatan ini dengan menyaring paparan trauma. Skrining merupakan langah awal dan penting untuk mengidentifikasi perkembangan psikopatologi trauma pada anak.Namun, semua proses penyaringan itu dapat sibenarkan secara etis ketika diimplementasikan bersama dengan prosedur dalam meninjau hasil skrining dan untuk memberikan assessment dan pengobatan lebih lanjut untuk anak-anak. Ketiga, mengembangkan model prediksi yang akurat untuk mengidentifikasi paparan trauma pada anak-anak yang berada dalam risiko terbesar berkembang psikopatologi. Secara pragmatis, prediksi risiko umumnya didasarkanpada identifikasi gejala emosional dan perilaku awal melalui instrumen penyaringan (seperti Child Revised Impact of Events Scale (CRIES), the Revised Children’s Anxiety and Depression Scale (RCADS), dan the Strengths and Difficulties Questionnaire (SDQ)). Keempat, dan secara lebih luas, meningkatkan dan pelatihan praktisi perawatan primer dalam mental anak dan kesehatan remaja. Peningkatan pengetahuan di bidang ini dapat meningkatkan deteksi masalah psikologis pada anak-anak dan rujukan ke spesialis pelayanan kesehatan mental.


Pada Post Traumatic Stress Disorder (PTSD)  terdapat tiga jenis penanganan psikoterapi, yaitu : anxiety management, cognitive therapy dan exposure therapy. Pada anxiety management, terapis akan mengajarkan beberapa keterampilan untuk membantu mengatasi gejala PTSD dengan lebih baik melalui: 1) relaxation training, yaitu belajar mengontrol ketakutan dan kecemasan secara sistematis dan merelaksasikan kelompok otot-otot utama, 2) breathing retraining, yaitu belajar bernafas dengan perut secara perlahan-lahan, santai dan menghindari bernafas dengan tergesa-gesa yang menimbulkan perasaan tidak nyaman, bahkan reaksi fisik yang tidak baik seperti jantung berdebar dan sakit kepala, 3) positive thinking dan self-talk, yaitu belajar untuk menghilangkan pikiran negatif dan mengganti dengan pikiran positif ketika menghadapi hal-hal yang membuat stress (stresor), 4) assertiveness training, yaitu belajar bagaimana mengekspresikan harapan, opini dan emosi tanpa menyalahkan atau menyakiti orang lain, 5) thought stopping, yaitu belajar bagaimana mengalihkan pikiran ketika kita sedang memikirkan halhal yang membuat kita stress. 


Dalam cognitive therapy, terapis membantu untuk merubah kepercayaan yang tidak rasional yang mengganggu emosi dan kegiatan sehari-hari klien. Dalam exposure therapy para terapis membantu menghadapi situasi yang khusus, orang lain, obyek, memori atau emosi yang mengingatkan pada trauma dan menimbulkan ketakutan yang tidak realistik dalam kehidupannya. Terapi dapat berjalan dengan cara: exposure in the imagination, yaitu bertanya pada penderita untuk mengulang cerita secara detail sampai tidak mengalami hambatan menceritakan; atau exposure in reality, yaitu membantu menghadapi situasi yang sekarang aman tetapi ingin dihindari karena menyebabkan ketakutan yang sangat kuat. Play therapy menjadi alternatif penanganan yang cukup efektif untuk membantu mengatasi gejala PTSD pada anak-anak korban bencana. Terapi ini dilakukan dengan berbagai jenis permainan yang sesuai dengan kondisi kelompok sasaran (anak-anak korban bencana dan lingkungannya. Terapis memakai permainan untuk memulai topik yang tidak dapat dimulai secara langsung. Hal ini dapat membantu anak lebih merasa nyaman dalam berproses dengan pengalaman traumatiknya. Jenis permainan pada minggu ke-1 adalah menggambar dan bercerita yang ditujukan bagi kelompok intervensi anak usia TK dan SD. Dalam aplikasinya, anak diminta untuk menggambar peristiwa/ kejadian traumatik/ tidak menyenangkan yang pernah dialami, kemudian minta anak untuk menceritakan gambar yang dibuatnya itu.


Coping with Accident Reactions (CARE) intervention merupakan intervensi pencegahan dini yang emiliki target dilakukan dalam 2 minggu pertama dengan orang tua dari anak-anak yang berisiko tinggi adanya perkembangan PTSD. Ini terdapat dua sesi manual (masing-masing 45-60 menit), intervensi berbasis CBT yang berfokus pada Trauma yang dirancang untuk disampaikan oleh psikolog. CARE mencakup komponen intervensi dini oleh Kramer dan Landolt (2014), serta elemen kunci yang dihipotesiskan penting untuk pemulihan psikologis anak kecil, seperti narasi trauma, psikoedukasi, sumber daya yang sesuai dengan perkembangan (yaitu mainan burung hantu, buku cerita), mengatasi strategi dan pendidikan tentang perilaku pengasuhan yang berhubungan dengan trauma.


Elemen kunci penting CARE yang mungkin berkontribusi pada hasil positif, yaitu fokus pada dukungan orang tua, menargetkan manifestasi trauma khas yang ada pada anak-anak yang sangat muda, dan menggunakan sumber daya terapeutik yang sesuai dengan perkembangan. Seperti yang ditunjukkan oleh literatur saat ini bahwa orang tua memainkan peran penting dalam penyesuaian pasca trauma anak (De Young et al., 2014; Haag & Landolt, 2017), CARE berfokus untuk menyediakan pengetahuan dan alat bagi orang tua untuk mendukung anak mereka serta mengelola diri mereka sendiri. kesulitan. Bukti anekdot dari orang tua menunjukkan mainan burung hantu dan buku cerita adalah sumber yang sangat membantu. Alasan untuk mainan burung hantu adalah untuk menyediakan objek transisi yang memungkinkan untuk meningkatkan perasaan aman, aman dan nyaman (Ybarra, Passman, & Eisenberg, 2000). Buku cerita disertakan untuk membantu anak-anak dan orang tua untuk memahami dan memproses kecelakaan dan perawatan medis dan memberikan kesempatan untuk mengoreksi penilaian yang tidak membantu.


Bencana dapat menyebabkan kerugian fisik, sosial, dan psikologis. Namun, kerugian psikologis justru lebih penting untuk diperhatikan karena dapat berdampak jangka panjang bagi korban khususnya anak-anak yang masuk kedalam kelompok rentan. Di Indonesia penanganan kesehatan mental pasca bencana sudah ada, namun akibat kurangnya sumber daya yang ada serta kurangnya partisipasi masyarakat akan kesadaran kesehatan mental justru membuat pelayanan kesehatan mental menjadi kurang optimal. Dari data yang ada sangat jelas sekali bahwa Indonesia sangat kekurangan sumber daya kesehatan mental. Oleh sebab itu, penting sekali perhatian pemerintah dalam mengkaji isu kesehatan mental pasca bencana pada masyarakat khususnya kelompok rentan, pemerintah harus bisa mengintegrasikan layanan kesehatan mental keseluruh lapisan masyarakat.



#Mahasiswa PROGRAM STUDI PSIKOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN


UNIVERSITAS ANDALAS


2021

Post a Comment

0 Comments


SELAMAT DATANG DI SEMOGA ANDA PUAS