Oleh : Jihan Nabila mahasiswa universitas Andalas
Di Aceh terdapat Gerakan Aceh Merdeka atau yang biasa disebut GAM. GAM secara resmi didirikan pada tahun 1976 oleh Hasan di Tiro. Selama beberapa dekade, GAM melakukan perlawanan bersenjata terhadap pemerintah Indonesia dengan menggunakan taktik gerilya. Gerakan tersebut terbentuk karena sebuah gerakan separatis bersenjata yang bertujuan supaya Aceh lepas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Konflik antara pemerintah RI dan GAM ini telah berlangsung sejak tahun 1976-2008 dan menyebabkan jatuhnya hampir sekitar 15.000 jiwa. Konflik yang terjadi di Aceh disebabkan oleh beberapa hal, yaitu perbedaan pendapat tentang hukum Islam, ketidakpuasan atas distribusi sumber daya alam Aceh, dan peningkatan jumlah orang Jawa di Aceh.
Sejak awal konflik, telah terjadi beberapa kali pertemuan informal antara perwakilan pemerintah dan GAM. Namun, pertemuan-pertemuan ini seringkali tidak menghasilkan kesepakatan yang konkret. Pertikaian antara pemerintah Indonesia dan GAM terus berlanjut hingga pemerintah memutuskan untuk memberlakukan status darurat militer di Aceh pada tahun 2003. Keputusan ini diambil setelah serangkaian upaya dialog gagal menghasilkan kesepakatan yang memuaskan kedua belah pihak. Akibatnya, aktivitas bersenjata GAM mengalami penurunan signifikan. Banyak anggota GAM memilih untuk mengungsi ke daerah lain di Indonesia bahkan ke luar negeri untuk menghindari konflik.
Setelah diberlakukannya status darurat militer, terdapat proses negosiasi antara pemerintah Indonesia dengan GAM yang menjadi perjalanan panjang dan penuh dinamika. Diawali dengan pertemuan-pertemuan informal yang seringkali terputus-putus akibat perbedaan pandangan, namun seiringnya waktu berjalan intensitas negosiasi meningkat dan melibatkan tim negosiator dari kedua belah pihak. Setelah melalui proses yang panjang dan melelahkan, kedua belah pihak akhirnya mencapai kesepakatan yang tertuang dalam Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki. Tsunami Aceh pada tahun 2004 menjadi titik balik dalam konflik ini hingga mendorong kedua belah pihak untuk lebih serius dalam mencari solusi damai.
Konflik Aceh yang berlangsung selama puluhan tahun merupakan salah satu babak paling kelam dalam sejarah Indonesia. Namun, sebuah titik terang muncul dengan ditandatanganinya Perjanjian Helsinki di Finlandia pada tahun 2005. Di dalam Perjanjian Helsinki, Aceh diberikan otonomi khusus yang luas, memberikan wewenang yang lebih besar kepada pemerintah daerah Aceh dalam mengatur berbagai aspek kehidupan masyarakat, termasuk pemerintahan, ekonomi, dan budaya. Dan untuk Anggota GAM menyerahkan senjata dan kembali ke masyarakat akan diberikan amnesti atau pengampunan. Perjanjian Helsinki dapat dikatakan berhasil dalam mengakhiri konflik bersenjata secara terbuka dan memberikan kerangka hukum untuk pembangunan Aceh.
Namun, untuk mencapai perdamaian yang berkelanjutan, masih banyak tantangan yang harus diatasi.
Menurut penulis konflik yang terjadi di Aceh hingga membentuk Gerakan Aceh Merdeka ini merupakan salah satu episode kelam dalam sejarah Indonesia. Akar permasalahan yang kompleks dan berlapis telah memicu pergerakan separatis yang cukup panjang. Sebagai penulis, saya melihat konflik Aceh sebagai sebuah tragedi kemanusiaan yang seharusnya dapat dicegah.
Konflik ini mengajarkan kita betapa pentingnya menjaga persatuan dan kesatuan bangsa, serta menghargai keberagaman.
Selain itu, konflik Aceh juga menunjukkan pentingnya dialog dan negosiasi dalam menyelesaikan perbedaan.
0 Comments